Pada mulanya tulisan ini mau saya masukkan ke kanal “Muda”, tetapi ternyata sampai tuapun renungan ini masih bisa berlaku.
Suatu pagi saya berfikir sendiri hitung menghitung sejauh mana ketergantungan saya pada KOPI dan MEROKOK. Terhadap rokok saya sudah lupa dalam waktu lama. Memang saya merasa terlatih sejak diasrama 7 tahun (SMP-SMA), hanya merokok pada saat-saat libur, hari raya, menunggu ada tulisan dari Pembimbing Asrama : “Kepareng Ses” (bhs. Jawa) artinya “Boleh Merokok”. Pada saat mahasiswa saya “terpaksa” merokok untuk menghilangkan kantuk sementara masih harus belajar. Pada saat dewasa dan kerja merokok seperti “wajib” untuk pergaulan pada saat pertemuan, rapat, dan menanti waktu terjadwal.Setelah bisa melupakan merokok, saya bertanya masihkah saya “harus” minum kopi.? Sejak th 2000 saya biasa minum kopi-gingseng, sebab sehabis saya dioperasi otak saya sekitar 3-4 bulan saya tidak merokok tidak minum kopi. Dan ketika mulai lagi merokok, saya pusing bila minum kopi. Sampai pada suatu ketika saya diajak minum kopi ginseng, dan saya merasa cocok, tidak pusing. Kopi gingseng dari yang lokal hingga yang import dari Korea saya sudah rasakan. Pada suatu ketika saya mendapat kesulitan memperoleh kopi gingseng di toko sekitar rumah saya, maka semakin saya harus bertanya: Haruskah saya minum kopi-gingseng?
Pagi itu ketika saya belum memperoleh jawab pertanyaan saya sendiri itu. Isteri saya meceletuk dibelakang saya katanya :Penulis ini gila, apa tidak gila, katanya orang yang “koma” itu bebas dari dosa, dan tenteram hatinya? Kalau begitu ketika saudara kita tidak sadar dan koma, jangan diharapkan dan didoakan untuk sadar... Doakan saja R.I.P. (beristirahatlah dalam damai).Celetukan itu membuat saya berfikir panjang...tentang kedamaian, kebebasan, dosa, hidup, dst......
Tetapi sebelum jauh kesana kitabefikir dahulu tentang “ketergantungan” dan tentang itu saya membuka Google dan mendapat sesuatu tentang ketergantungan itu dari ini: https://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20120521054503AAaBZfl : yang memberi banyak “penjelasan” a.l. : ketagihan atau ketergantungan antara lain :
Zat aditif adalah bahan kimia yang dicampurkan ke dalam makanan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas makanan, menambahkan kelezatan, dan mengawetkan makanan. Salah satu contoh zat aditif adalah MSG (monosodium glutamat) ==> penyedap rasa.
Zat adiktif adalah zat yang dapat menyebabkan efek ketagihan bagi pemakainya sehingga dapat mempengaruhi pengguna untuk terus mengkonsumsinya. salah satu contohnya minuman keras..
Sumber: Buku Rahul_Biology · 3 tahun yang lalu .
Aditif < add ; Adiktif menurut James Oetomo, (opcit)
Dekat dengan “ketagihan” dan “ketergantungan” dengan contoh minuman keras, kopi, merokok, kita bisa melompat sedikit kepada “perbuatan yang berefek “ketagihan” seperti perbuatan seksual. Hah,...itu berat !?! Yang ringan seperti kesukaan, kegemaran, dan hobby. Seperti kesukaan memancing, berjudi, bahkan olah raga. Tetangga saya sekarang menderita penyakit kronis paru-paru dan jantung. Katanya karena kegemarannya olahraga bulutangkis di arena terbuta. Dan saya juga mempunyai tetangga yang serupa itu konon karena hobby main judi/kartu tidak menhitung waktu. Dan saya juga mempunyai kenalan seniman yang meninggal ketika jam 2 pagi/malam sedang melukis. (Semoga rekan penulis saya sekarang jangan ada yang bernasib demikian).
Dekat dengan ketergantungan dengan lawan kata kebebasan, saya beralih kepada Kemerdekaan. Kemerdekaan adalah kebebasan dari penjajah. Itu berarti lepas dari ketergantungan. (Maskipun mungkin tetap ada ketergantungan lain). Belum lagi kita berfikir tentang kebebasan dari rasa dosa..........
Jadi ternyata ketergantungan dan kebebasannya mempunyai sifat dan derajat yang berbeda-beda. Dan hendaknya dipertimbangkan derajat kemanfaatan sikap perbuatan kita dengan akibatnya yang harus ditanggungjawabkan. Mungkin sekedar menyebut salah satu indikasi saja adanya bebas dari ketergantungan yang ditentukan oleh orang/pihak lain, atau bebas yang ditentukan oleh dirinya sendiri. Kok bisa ?
Banyak kasus tersirat diatas bahwa sebab musabab ketergantungan adalah akibat pilihan kita sendiri. Keterbelengguan kita oleh pilihan kita sendiri yang tanpa pertimbangan terhadap konsekwensinya. Sederhana saja: memilih peralatan berkonsekwensi taat pada aturan pemakaian alat tersebut. Pemilihan tentang hobby, berkonsekwenasi taat pada disiplin hobby dan sifatnya. Pilihan kegemaran mempunyai akibat tersendiri. Memiliki fans terhadap salah satu figur, tentu juga harus ada konsekwennya tersendiri. Memilih profesipun mempunyai disiplin tersendiri. Apabila pilihan itu sudah bulat dipilih maka konsekwensinya akan dapat diterima tidak sebagai “belenggu”, tetapi kelengkapan atau buah pilihannya..
Semua tata kehidupan, lifestyle kita akhirnya menjadi pilihan bebas kita dan apa yang “harus-harus”-nya adalah pertanggungan jawab konsekwensi atas pilihan itu. Jadi jangan mau tergantung kepada hal yang tidak penting untuk hidup kita sementara konsekwensinya menyangkut hidup mati kita.
Salamku hormatku untuk anda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H