Mohon tunggu...
Emmanuel Astokodatu
Emmanuel Astokodatu Mohon Tunggu... Administrasi - Jopless

Syukuri Nostalgia Indah, Kelola Sisa Semangat, Belajar untuk Berbagi Berkat Sampai Akhir Hayat,

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Menilai Orang Lain dan Menengok Diri Sendiri

22 Maret 2014   06:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:38 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Menilai Orang Lain itu Tuntutan, menilai diri sendiri itu keutamaan. Dalam masa kampanye Pemilu 2014 ini sepertinya saya didesak untuk berkesimpulan bahwa “menilai orang lain” itu merupakan Tuntutan Hidup Sosial. Masa kampanye masa orang menawarkan diri untuk di nilai. Bukan saja nama partai tetapi nama pribadi minta dinilai. Setiap kali kita bertemu, mendengar, membaca tentang orang lain yang harus kita sikapi. Harus, atau kita akan menjadi orang tertutup dan tidak peduli. Dan itu baik sekali bila penilaian kita tepat dan bermanfaat minimal tidak menimbulkan gangguan.

Bahkan di Kompasiana pun ada budaya baru/sedang berkembang “Menilai orang lain”. Misalnya bisa dibaca tulisan Farid Wadjdi ini memilih mau mengundurkan diri. Selain ada alasan pribadi tetapi juga menilai Kompasiana dalam hal ini Admin. Rekan ini mengambil kata-kata dari Mas Baskoro : “Anda tidak sedang memfasilitasi suatu perbedaan pendapat, melainkan memang dengan sengaja membenturkan masing masing Kompasianer dengan satu tujuan murahan : hit rate, ranking.” Bisa dibaca di http://media.kompasiana.com/new-media/2014/03/21/kompasiana-sudah-nggak-asik-saya-mohon-pamit-saja-642998.html

Konon ada “dua kelompok yang namanya pernah dipopulerkan oleh Kong Arke, yaitu antara “tim hore” melawan tim “cerdas cermat”. Diakui atau tidak, kenyataan itu sulit untuk dibantah. Saya melihat, sejak ramai tulisan yang meributkan soal kasus SS, suasana keakraban antar kompasianer jadi buyar. Setelah sempat hampir dilupakan, kini “perseteruan” itu mengemuka lagi, gara-gara “tulisan stenslan” yang tidak segera disikapi dengan tegas oleh admin.”Disini ada dua pihak beda pendapat di tambah pihak Admin. Maka Ellen Marinka pun mengemukakan juga tentang Admin disini : http://lifestyle. kompasiana.com/catatan/2014/03/21/admin-juga-manusia-jangan-jadi-kompasianer-lebay-643004.html. Disana pun ada kupasan hal menilai orang lain.

Masih lebih luas lagi sasaran tembak dari Erwin Alwazir dengan menyebut dan dengan begitu “Menilai Orang Lain” dimana disebut 4 orang sasaran. Dibela .Saya mengkopi nama-nama yang dinilai tetapi lebih baik tidak saya sertakan ditulisan ini. Pada kaki tulisan Rekan Erwin ada komentar panjaaang dari Rekan AA. Yang menyebut dan memberi penilaian terhadap 24 orang. Disini : http://politik.kompasiana.com/2014/03/20/pendukung-jokowi-jangan-jadi-hama-demokrasi-640967.html)Seluruhnya 4 orang disebut dibela dan 24 orang dihakimi.

Terakhir saya kutip (belum akan tulisan kompasianer terakhir) dari Rekan Thomson Cyrus disini : http://media.kompasiana.com/new-media/2014 /03/21/kompasianer-yang-satu-merasa-lebih-hebat-dari-kompasianer-yang-lain-643061.html)Rekan ini tulis ini :“So…Jangan pernah menghakimi kompasianer yang lain, Sebab anda tidak lebih baik dari yang lain. Kita adalah satu, satu karena menyenangi tulisan dan membaca. Sama seperti anggota tubuh berbeda-beda, masing-masing punya peranan sekalipun berbeda,tetapi mereka tetap satu tubuh. Serupa dengan kita para kompasianer, kita berbeda-beda, masing-masing punya peranan”. Ada tujuh saran atau lebih yang saya suka ini : “cara kita menilai tulisan orang juga bisa menggambarkan siapa kita sesungguhnya, kalau kita anggap tulisan orang cabul, seronok, itu justru menggambarkan pikiran kita yang cabul.”

Dari saran terakhir saya meloncat pada“Menilai Diri Sendiri”, tetapi ssebelum itu saya ingin mencatat mengapa atau apa yang membuat kita menilai negative tentang orang lain. Sebab ketika penilaian itu positif tentu tak akan ada masalah. Menilai orang lain Negatif dapat oleh sebab ini:

a.Dinilai negative terlebih dahulu.

b.Menilai spontan cenderung apriori, tanpa pertimbangan kedua tetapi mendasarkan pada masa lalu.

c.Bertujuan mengamankan diri dari tuduhan, melempar batu tak sembunyi tangan demi keamanan diri; semacam strategi nakal.

d.Menilai orang lain sengaja jahil atau memusuhi. Menzolimi.

Demikian memang tujuan dan motivasi menilai ketika tidak hati-hati, tidak obyektif dan dalam berargumentasipun bisa jatuh pada argument ad hominem, karena kahabisan peluru argument sehat.

Nah, kita tengok kini tentang Menilai Diri Sendiri, itu hal yang sangat biasa, akrab dan spontan menghargai diri sendiri. Kecuali dalam posisi merasa salah, dalam penyesalan, merasa dosa, dalam proses pertobatan. Karena itu menilai diri sendiri itu lebih cenderung disebut sebagai keutamaan. Orang Jawa bilang Mulat Sariro Hangroso Wani. Melihat Diri Sendiri dan Berani Melihat kedalam. (refleksi), Keberanian melihat kenyataan. Disini letak nilai keutamaan. Seperti Thomson Cyrus diatas dikutip, orang Jawa bilang: Jangan merasa “bisa”, tetapi bisa-bisalah “merasa”. Dan Giri lusi janma tan kena ingina. Gunung pun atau cacing bisa diinjak, tetapi manusia jangan dihina. Karena sering ada orang diam-diam sangat tinggi ilmunya ataupun kejayaannya, yang kita tak tahu. Jangan nanti anda dipermalukan…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun