Mohon tunggu...
Emmanuel Astokodatu
Emmanuel Astokodatu Mohon Tunggu... Administrasi - Jopless

Syukuri Nostalgia Indah, Kelola Sisa Semangat, Belajar untuk Berbagi Berkat Sampai Akhir Hayat,

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Malang yang Tidak Pernah Menyenangkan...

24 September 2014   14:49 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:43 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Asyik mengikuti peristiwa, asyik pula membaca sastra lama yang mengungkapkan kawasan yang dari dulu tidak menyenangkan, yaitu Malang. Dalam buku “Peribahasa” dikumulkan oleh K.ST.Pamuncak DKK, terbitan Balai Pustaka th 1946,no.1600, terbaca : “Malang tak boleh ditolak, mujur tak boleh diraih.” Dijelaskan : Kalau nasib malang handak menimpa tidak akan dapat dielakkan, dan kalau tak ada nasib baik, ikhtiarpun sia sia tak bakal beruntung. Dari kaitan yang diberikan sehubungan dengan nasib sangat dekat dikaitkan dengan kematian, dan peristiwa alam, seperti peribahasa ini : “Meski kelangit akan menjemur, kalau hari tak panas tak juga kering”.

Dalam tulisan saya sebelum ini (http://filsafat.kompasiana.com/2014/09/24/ diperlakukan-dikerjain-anda-bagaimana--676082.html) dikemukakan Peristiwa pahit kegagalan Capres/Cawapres yang kalah dalam pilihan, kemudian peristiwa jatuhnya pesawat, peristiwa perang di Ukraina dan Jalur Gaza, belum lagi peristiwa alam yang mendatangkan musibah besar bagi banyak orang. Semua itu pelbagai jenis kemalangan. Terhadap semua itu sudah tersirat sebuah penilaian : NASIB. Tak boleh ditolak. Benar demikiankah ? Lalu dimana letak kebebasan manusia.? Para agamis bahkan lebih menegaskan dengan mengkaitkan dengan dosa dan perilaku manusia, yang bebas itu. Kondisi seperti itu memang membuat orang cenderung dengan menolak adanya Tuhan Allah alias sikap Etheis. Sebab memang Nasib dan Hukuman Allah bagi kemalangan adalah sama dan serupa saja, Cuma yang satu seperti formula hukum (nasib) yang lain lebih bernada personal : dosa manusia terhadap Allah.

Seorang pemikir abad pertengahan Gottfried.W.Leibniz mengatakan pada dasarnya kemalangan berpangkal pada keterbatasan dunia dan kebebasan manusia. Pemikiran itu tentu tidak memberi jawab akhir pula bagi pemikir lain. Pengertian “keterbatasan” menandai belum tuntasnya jawaban. Maka kemalangan tetap merupakan “Misteri”.

Dalam Agama seperti Sang Budha, Nabi Isa dan Nabi Muhammad semuanya membantu saja untuk tidak putus asa dengan menunjukkan jalan dan kebenaran yang membimbing hidup manusia. Dan Refleksi keagamaan hanya pas bila itu dilakukan oleh masing-masing penganutnya. Tetapi derita nyata adalah milik kita masing-masing sendiri, jangan bertanya mengapa. Kemanusiaan dan kebersamaan kita pun menjadi upaya untuk pengurangan penderitaan atas kemalangan. Disinilah letak kepeduliaan sosial yang terus menerus tak berkesudahan harus dibina untuk mendampingi keberadaan kemalangan yang berkelanjutan.

Refleksi ini merupakan sekedar upaya mencari apa yang mungkin bisa dipahami (tak usah diterima) bersama. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun