Mohon tunggu...
Emmanuel Astokodatu
Emmanuel Astokodatu Mohon Tunggu... Administrasi - Jopless

Syukuri Nostalgia Indah, Kelola Sisa Semangat, Belajar untuk Berbagi Berkat Sampai Akhir Hayat,

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Peduli Kesatuan Lancarkan Komunikasi

28 September 2014   21:27 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:11 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

NKRI punya Lambang Garuda yang membawa Tulisan : Bhineka Tunggal Ika. Ribuan pulau, aneka ragam suku, adat, bahasa, agama dan budaya dipersatukan dalam ikatan suci kawasan bangsa bahasa dan negara, sungguh suatu kenyataan yang mentakjubkan. Realita itu harus selalu disyukuri, dilestarikan, dikultivasi dan dikembangkan.

Meskipun hanya sekedar memperlancar komunikasi antar warga setiap kaliberinteraksi itu akan mendukung pengembangan persatuan NKRI kita. Kelancaran komunikasi itu didasari dengan Pengenalan diri antar warga secara lebih dalam.

Untuk itulah disiniakan saya coba memaparkan sebuah sisi dari budaya orang Jawa yang mungkin juga sudah kurang dipergunakan tetapi masih sering muncul dan sedikit menghambat komunikasi bila tidak dipahami. Yaitu : “Adu Roso” – “Subosito” – dan “Unggah Ungguh”sebagai sebagian aspek budaya Jawa.Budaya disini agak dibatasi saja yaitu cara berfikir, bersikap, bertindak dan berbahasa. Mungkin pula mau dikatakan dalam penulisan ini sebagai kebiasaan sejauh itu berlaku bagi orang Jawa yang belum meninggalkan budayanya sendiri.

A.Definisi dan Aplikasi

1.“Adu Roso”, yaitu penggunaan roso pangroso –perasaan- , feeling, batin, dan penggunaan pelbagai tanda isyarat simbol, bahasa badan, bahasa tersirat. Itu diterapkan didalam kultivasi diri sebagai olah pengendalian diri, didalam komunikasi dan didalam bersikap terhadap orang lain sebagai penghargaan bahwa orang lain itu selayaknya tahu dan mau (merasa) bersikap demikian baik untuk kebersamaan. Lebih jauh Budaya Aduroso ini muncul pada sastra dan edukasi hingga berbicara menggunakan isyarat, “Pasemon” (dari kata “semu”, tersirat, terselubung) dalam berbicara mengutarakan petuah, pesan, amanah, ataupun maksud pada umumnya dalam komunikasi.

Seorang pecinta seni budaya Jawa, Pauwadmadi di Harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta, tg.21/09/14 memaparkan Aji Esem Semu, sebagai “kawruh” baru ilmu pengetahuan tentang “senyum”, yang layak pas patut menjadi wajah keseharian menghadapi semua situasi baik yang jelek maupun yang baik. Apapun orang lain berbuat bagi kita semua dihadapi dengan senyum. Jangan lantaran gembira lalu tertawa terbahak-bahak, sedih lalu menangis tak berkesudahan, tidak demikian, tetapi semua cukup dihadapi dengan senyum. Sebaliknya kita harus bisa belajar membaca wajah dan muka setiap orang untuk mengetahui gelagat apa isi hati seseorang itu.

Apabila pada awalnya semua itu berangkat dari sebuah filosofi yang “Adiluhung” atau mulia,(pengendalian diri, berprasangka baik terhadap orang lain) dalam prakteknya bisa nampak sebagai Kesombongan, Tertutup, Tidak komunikatip, bahkan seperti melecehkan, dan tidak produktip dalam berinteraksi. Bayangkan kalau semua yang perlu diinformasikan hanya cukup di”beritakan” dengan senyum. Bisa ada senyum penghargaan dan kepuasan, bisa jadi senyum kecewa, sinis atau melecehkan. Bahasa yang rumit bukan ? Tetapi Purwadmadi menulis : “Wong Jawa kang isih durung ilang Jawane, mesthi wae suko ngudi tegesing pikajeng kanthi maos polataning liyan.”(opcit) (Orang Jawa yang masih belum hilang Jawanya tentu saja berupaya tahu kemauan orang dari membaca wajah orang lain itu).

2.“Subosito”, adalah sopan santun dalam berperilaku didepan umum, lebih lebih apabila disitu menghadapi orang yang harus dihormati. Sebagai ajaran, dikatakan subosito prinsipnya adalah manifestasi penghormatan kepada orang lain yang pasti harus dilakukan dengan tulus. Sebab barang siapa tidak tulus “orang Jawa” “merasa” bahwa itu “mung lelamisan” atau munafik. Dalam ungkapan ucapan sehari hari sering “orang Jawa berumur” mengatakan tentang tamunya (anak muda) yang gegabah atau cuek : “Wong kok ora ngerti subosito, grusa grusu.” ( Orang kok tidak tahu sopan santun). Ada pula ungkapan “ora ilok”, “kuwalat” (tidak patut, kena kutuk) terhadap orang yang masuk kehalaman rumah orang tidak turun dari sepeda, bergaya kasar dsb.

Suatu perilaku yang telah dikultivasi, diasah, dan lalu diformalkan, tentu berkat dari pengembangan oleh “budaya” yaitu “semua upaya ekspressi dinamika kreatip dalam kerangka struktur multidimensional.Itu mengandung konflik dan keterbatasan dari sisi kebesarannya daya kreasi, sehingga selalu dikritisi dan dikembangkannya. Dan budaya Jawa terasah dan terasuh oleh lembaga kekuasaan kraton, kadipaten, kabupaten sejak jaman dahulu. Kekuasaan feodalistik dan budaya penjajah kraton Belanda tentu memberi warna dan hilangnya kesetaraan. Sebaliknya Hirarki dan jenjang kekuasaan menjadikan orang Jawa sampai lama membawa ciri hirarkis dan berjenjang yang muncul menggejala didalam aturan hingga ajaran-ajaran kehidupan. Bagi orang Jawa yang jauh dari pengaruh pusat kekuasaan tata pergaulan lebih murni diatur sederhana oleh jenjang dan hukum keluarga, dimana kepala keluarga lebih luasnya komunitas “trah” menentukan aturan keluarga besar. Disana kesetaraan menjadi lebih nyata dan sebenarnyalah “hukum cinta kasih orang tua kepada dan dari anaknya” lebih menjadi dasar hukum dan itulah landasan nasionalisme murni.

3.“Unggah Ungguh”, adalah sopan santun dalam berbahasa, bertutur kata. Unggah artinya seperti dipakai untuk “up load” itu baik. Juga kenaikan klas disekolah diistilahkan “unggah-unggahan”. Unggah-unggahan juga berarti tempat tanjakan. Ungguh dijadikan kata kerja “mungguh”, berarti mapan, tepat, baik. Mungkin unggah-ungguh menjadi berarti : baik/kebaikan ditempat tanjakan. Itu mau menjelaskan : unggah ungguh adalah aturan dalam tata tertib berbahasa dalam komunikasi diantara warga dimana ada jenjang dan hirarki bermasyarakat.Sebenarnya cukup sulit bagi yang tidak terbiasa. Bagi para presenter bahasa Jawa dimana ada penyelenggaraan pesta kawin, yang tentunya untuk presenter itu harus mempelajari, mereka pun sangat sering tidak tepat penggunaan aturan bahasa ini.

Bahasa berjenjang ini ada empat modus pilihan kata yang “mungguh” (tepat), yaitu:

a.Kromo :1) Kromo inggil , ditujukan atau digunakan untuk orang yang dihormat

2) Kromo madyo, kepada orang setara tetapi dihormati

3) Kromo andhap, untuk orang dibawahnya tetapi dihormati

b. Ngoko :percakapan antar sesama yang setara.

Dalam bahasa Kromo Hinggil harus tertib semua perkataan bahasa kromo, dimana tetap ada perbedaan penerapan pilihan kata bagi orang terhormat dibanding bagi diri sendiri dan orang lain dibawah orang terhormat yang diajak bicara. Misalnya : Kulo matur dateng Panjenengan, bilih kulo dereng nedho, anak kulo carios bilih dereng nedho ugi, garwo panjenengan ngendiko sampun dahar, monggo panjenengan kulo aturi dhahar. (Saya bilang kepada Tuan, bahwa saya belum makan, anak saya juga bilang bahwa belum makan, isteri Tuan berkata sudah santap, mari silahkan Tuan saya mohon sudilah bersantap.)Semua perkataan bahasa Kromo, khusus kata kerja ada bahasa Kromo Hinggil untuk yang terhormat, sementara untuk diri sendiri Kromo biasa. Kromo madyo dan kromo andhap adalah kromo biasa campuran. Mungkin tidak perlu dipaparkan disini, bolehlah hanya sekedar diilustrasikan saja, sebab sedemikian rumit bagi yang tidak menggunakan sejak kecil.

B.Dampak positip dan negatif.

Tidak dipermasalahkan disini yang pro atau yang kontra terhadap tiga fenomena diatas.. Sebab semuanya adalah buah budaya yang masih terus berproses dilingkungannya atau “habitatnya”. Yang bersangkutan akan memperoleh jalannya. Namun siapapun boleh memberi masukan. Sebab ada dampak positip dan ada dampak negatip untuk pelestarian buah budaya tersebut dan penggunaannya. Ada pula dampak positip dan negatip dari hilangnya dan terkikisnya buah budaya itu. Dan mungkin justru orang luar (bukan orang Jawa) akan cenderung setuju hilangnya budaya rumit itu. Dan orang Jawa -juga dalan suasana pro/kontra- akan berproses membangun dan hidup bermodal budaya itu.

C.Pergeseran nilai dalam praksis.

Suatu buah budaya yang mengakar pada filosofi komunitas pasti memasuki suatu system nilai. Nah hilangnya salah satu atau sebagian nilai yang menjadi sendi kehidupan kelompok tentulah akan mengakibatkan semacam kehilangan, mungkin sampai pada disharmoni. Maka seharusnya ada upaya penyelarasan kembali. Dalam hal ini apabila orang Jawa kehilangan rasa Jawanya dan nilai sopan santun gaya lama yang tergusur belum ditemukan penyeimbangnya tentu akan menemukan kejanggalan. Seperti dalam kasus masyarakat marah dan berpandangan negatif terhadap Flor Sihombing, menjadi keheranannya orang luar DIY. Mengapa Wong Yogya bisa marah. Seperti diketahui ada ucapan lama : Wong Solo itu umuke, wong Yogya glembuke, Semarang iku gertake. Tentu sudah out of date.......

Kesimpulan keseluruhannya. Marilah kita saling mengenal lebih jauh kedalam. Bukan untuk saling menyombongkan diri tetapi untuk saling mengenal saling berbagi saling belajar dari kekurangan dan kelebihan warga Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan komunikasi intensif mendukung kasatuan dan persatuan. Semoga. Salam.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun