Sudah beberapa kali saya menulis hidup ini ibarat “Berjalan”. Filsafat Jawa mengatakan bagaikan : ”sebentar singgah untuk seteguk air”, pesan Sri Paus mengatakan “berjalan itu seni memanage kecepatan agar pas sampai tujuan”. Bila pemikiran itu dilanjutkan maka kita dapati bahwa berjalan itu bisa tepat sampai tujuan, bisa terhambat dan terlambat atau tak pernah sampai tujuan karena terhambat atau tersesat.
Perjalanan hidup kita sebenarnya bisa mengalami kesesatan. Ada banyak model kesesatan. Sesat pikir, sesat rasa, sesat duga, pendeknya sesat jalan bisa yang salah rasa-arah, salah lihat pilihan persimpangan, salah pertimbangan jarak tempuh dsb.
Belajar dari Pak Nararya dalam hal sesat pikir saja ada demikian banyak model. Managemen Pemikiran dapat diangkat sebagai pola pengambilan keputusan, dari rasa, dari pilihan alternatip, atau penentuan jarak dan posisi pribadi. Ratiocinium, sillogesme, pola dasar berfikir selalu : menunjuk realita, menguji aturan, dan mengambil kesimpulan. Apabila ada sesat pikir dalam langkah-langkah itu yang menjuruskan pada sesar pikir pasti juga ada jebakan-jebakan sesat jalan pengamatan kita lebih luas.
Tetapi mengapa ? Mengapa terjadi ada orang sesat pikir.?
Belajar dari Kompasiana saya mencoba mendalami yang ini saja :
TRENDING ARTICLES(tg.25 Jan2015, jam 9:23)
Dear BW, Hentikan Dramatisasi Penangkapan Anda, …
Thomson Cyrus | 11 jam lalu
(ABG Tanpa Malu Mengakses Video Porno di Area …
Opa Jappy | 11 jam lalu )lewatkan
Jokowi Ungkap Wujud Asli Bambang W dan AS …
Adie Sachs | 12 jam lalu
Pak Jokowi, Jika Anda Sudah Tidak Mampu.. …
Wilfun Afnan | 15 jam lalu
Menonton Lakon Politik ala Jokowi …
Herawati Suryanegara | 18 jam lalu Dan beberapa yang lain sebelumnya.
Saya berkesan para punulis itu menyikapi setiap peristiwa politik, hukum, birokrasi, kemasyarakatan itu bisa dengan: a. Berfikir negatif, pengecaman, kritis, menolah, melecehkan, b. Berfikir positip, melihat sisi positip, mendukung.c. Berfikir akal sehat sederhana tanpa praduga. Yang jelas dan tegas para penulis itu menyatakan opininya. Tak ada faktor keterjebakan oleh opini lain atau peristiwa yang diyakini terjadi. Tetapi nampak pula satu dua dalam hal kepemihakan. Sementara beberapa memang tidak nyata-nyata menyampaikan opini melalui penalaran ketat dengan kesimpulannya tetapi sekedar “menyandingkannya”.
Inilah yang kadang mengundang ketegangan karena terkesan sesat pikir. Sebab penulis menyandingkan, penanggap sudah menghakimi opini penulis. Sementara fakta dan peristiwa lain “tak sempat ditampangkan”.
Maka seperti saya tulis dikomentar saya dibawah tulisan itu, saya menyikapinya dengan prinsip bahwa : Kita yang berposisi di "media" hendaknya menyadari pesan dan arah mana yg sedangkita perankan dalam situasi seperti ini saat kita menulis opini.Sebab di Kompasiana sudah tertulis : isi dan keabsahan opini tanggung jawan penulis. Sudahkah dapat dipertanggungjawabkan tulisan dan opini kita, jangan kita kena jebakan opini yang lain dan membuat jebakan dengan opini kita di media ini untuk sebuah kesesatan ?.
NB. Tentang opini Pak Nararya saya tulis diatas dengan membaca ini :
1.http://birokrasi.kompasiana.com/2015/01/23/sokrates-dan-nietzsche-membujuk-samad-698110.html) Solusi yang ditawarkan dengan bahasa “cermin” : Socrates & Nietzche.
3.Muhammad Asad , Kompasianer yang berseberangan menulis tentangNararya sebagai“pemberi vonis sesat pikir.”http://filsafat.kompasiana.com/2014/05/07/mengkritisi-nararya-tukang-jagal-pemberi-vonis-sesat-pikir-yang-menyesatkan-654494.html.
4.Herulono Murtopo : http://hukum.kompasiana.com/2015/01/24/menyesatkan-nalar-publik-698228.html)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H