Mohon tunggu...
Sosbud Pilihan

Kemajemukan Bangsa Indonesia yang Rawan dan Perlu Dirawat

20 Juli 2018   18:04 Diperbarui: 20 Juli 2018   21:47 508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diaspora Indonesia dari 22 negara di Eropa mengikuti Dialog Antaragama di Roma pada 30 Juni - 2 Juli 2018

Pria berkemeja hitam dengan kerah Romawi putih, busana gerejawi Imam Katolik, serius berdiskusi. Romo Leo Mali Pr, Ketua Ikatan Rohaniawan-Rohaniwati Indonesia di Kota Abadi (IRRIKA), sibuk mengawal Dialog Antaragama Masyarakat Indonesia di Eropa. Sebanyak 47 orang diaspora Indonesia dari 22 negara di Eropa mengikuti kegiatan ini pada 30 Juni hingga 2 Juli 2018 di Roma, yang diselenggarakan oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Takhta Suci Vatikan. 

Di samping Romo Leo, seorang pria berkacamata, mengenakan kemeja batik dan peci hitam, simbol Muslim Nusantara sekaligus identitas bangsa Indonesia. Prof. Abdul A'la, ulama, mantan rektor Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, merupakan salah satu pembicara dalam kegiatan ini. Di sisi lain, seorang pria tegap berpakaian adat Bali lengkap dengan udeng, ikat kepala lambang pemusatan pikiran. Mayjen (Purn.) Wisnu Bawa Tenaya, Ketua Parisadha Hindu Dharma Indonesia, tengah fokus mempersiapkan materinya. 

Keragaman agama, suku, bahasa dan budaya daerah dari para peserta, pembicara dan panitia penyelenggara dalam kegiatan ini mencerminkan hanya sebagian kecil dari kemajemukan bangsa Indonesia. Kemajemukan anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa ini, bisa menjadi kekayaan berharga yang patut disyukuri, namun juga rawan bila tidak dirawat.

Bagaimana cara merawat kemajemukan bangsa Indonesia? "Menterjemahkan, memaknai Kitab Suci dalam konteks situasi saat ini. Mengembangkan toleransi, tenggang rasa dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya mengamati siaran ibadah agama lain di TV dan mengunjungi tempat ibadah agama lain. Ini bermanfaat untuk mengenal secara riil pemeluk agama lain serta menghindari prasangka negatif. Seperti kata pepatah, tak kenal, maka tak sayang," ujar Pendeta Henriette Tabitha, Ketua Persekutuan Gereja Indonesia. "Pemerintah juga perlu menata sistem pendidikan berbasis agama supaya inklusif, menghindari pengokohan sekat-sekat antar agama," tambahnya.

Belakangan ini, sejumlah kasus intoleransi muncul dan menguat di Indonesia. Diaspora Indonesia yang merantau di luar negeri merasakan keprihatinan mendalam. "Kasus bom gereja Surabaya pada Mei 2018 misalnya. Beritanya juga muncul di TV dan koran di luar negeri. Orang-orang asing, bertanya langsung pada kami, orang Indonesia di luar negeri, mengapa hal itu bisa terjadi di Indonesia. Miris melihat maraknya fenomena fundamentalisme, radikalisme dan aksi terorisme akhir-akhir ini. Juga politisasi agama dimana agama ditunggangi sebagai kendaraan politik untuk memenangkan kekuasaan sesaat," kata Ayang Utriza Yakin, tokoh muda Nahdlatul Ulama dan dosen Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang tengah mengambil program postdoctoral di Universitas Katolik de Louvain, Belgia.

"Padahal agama mengajarkan kesejukan dan perdamaian. Hubungan antar umat beragama harus humanistik, anti kekerasan. Santun dalam menjalankan ibadah agamanya. Santun dalam berinteraksi sosial dengan pemeluk agama lain. Seimbang dalam berhubungan dengan Tuhan, berhubungan dengan sesama manusia maupun berhubungan dengan alam," ujar Prof. Nursyam, Sekretaris Jenderal Kementerian Agama Republik Indonesia.

Apa yang bisa kita lakukan untuk berpartisipasi mencegah timbulnya konflik antar agama? "Jadi duta, humas keberagaman dan toleransi antar agama ala Indonesia. Baik di keluarga, masyarakat, lingkungan tempat tinggal, di Indonesia maupun di luar negeri," Prof. Abdul A'la menegaskan. "Enam agama di Indonesia yaitu Islam, Kristen Protestan, Katolik, Budha, Hindu, Khong Hu Cu, telah mengalami akulturasi budaya, kontekstualisasi dan menjadi modal sosial yang wajib dipelihara oleh bangsa Indonesia. Islam Nusantara, istilah Nahdhlatul Ulama dan Islam Berkemajuan, istilah Muhammadiyah, bersifat moderat dan bersinergi mengawal kelestarian Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang dibangun atas dasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dalam semangat Bhinneka Tunggal Ika," tambahnya.

Seluruh anak bangsa Indonesia, kendati berbeda agama, suku, bahasa dan budaya daerah, tetap terikat dalam persaudaraan sebangsa dan setanah air. Kita berasal dari satu rahim ibu pertiwi, Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun