Kekerasan seksual masih menjadi isu paling hangat dibicarakan belakangan ini. Apalagi semakin banyaknya korban kekerasan seksual yang mulai speak-up walaupun keadilan masih jauh dari harapan. Seperti kasus salah satu band indie ternama dimana sang vokalis mengalami Kekerasan Dalam Pacaran (KDP) selama 3,5 tahun atau yang sedang ramai adalah korban kekerasan yang menyatakan dirinya tidak mengalami kekerasan setelah berani speak-up soal kasusnya. Pertanyaan yang timpang tindih ini menjadi perbincangan hangat.
Kasus kekerasan seksual sudah terjadi sejak lama, hanya saja belakangan ini mulai ramai karena banyak para korban yang speak-up. Padahal keberanian untuk berbicara adalah suatu bentuk apresiasi besar ditengah ketidak jelasan hukum bagi para pelaku kekerasan seksual. Jangan aneh, jika kasus kekerasan seksual akan membuat trauma yang mendalam, tidak terlihat namun jelas dirasakan oleh korban. Kesalahan kita adalah membiarkan kekerasan seksual itu, berarti kita sama saja dengan pelaku. Ya, bisa jadi aku pernah melakukan kesalahan yang sama ketika kekerasan itu terjadi dilingkunganku.Â
Dalam kasus seperti ini, paling penting adalah rasa empati bukan persoalan salah dan benar. Mengapa banyak para korban speak-up ? Karena jelas kasus seperti ini hanya akan sampai pada permintaan maaf dan tidak ada efek jera. Bagaimana cara efek jera? Mempermalukan pelaku dan memberitahu bahwa jangan sampai mereka terkena kekerasan seksual oleh mereka. Seperti tidak ada pilihan lain untuk para korban berbuat sesuatu, selain sanksi sosial agar jera.Â
Yang paling menyedihkan adalah para perempuan yang tidak merasa empati terhadap apa yang terjadi dengan perempuan lain dan malah menyalahkan tanpa mendengar langsung pernyataannya dari korban. Saking sulitnya dalam menangani kasus seperti ini karena kurang bukti, kurangnya kepercayaan, tidak adanya saksi, bahkan kurangnya dukungan membuat tenggelam dimakan waktu.Â
Jika hal ini terjadi ditempatmu? Apakah kamu akan membiarkannya? Apakah tidak akan memperbaiki agar hal tersebut tidalk terjadi lagi?. Sejauh ini yang saya rsakan adalah selalu berakhir dilupakan, bahkan minimal perbaikan sistem saja sudah tidak ada. Jadi, haruskah anak mereka dahulu merasakan kekerasan seksual baru sadar pentingnya sebuah hukum dan sistem pencegahan?
Jika kasus ini terjadi maka mereka akan berkata, mungkin pakaiannya pendek, kenapa mendatangi sarang harimau, kenapa ga preaper dulu, kenapa dan kenapa akan terus ditanyakan kepada korban. Ya, tenaganya habis hanya untuk menjawab pertanyaan saja. Mereka tidak pernah berpikir bahwa sesuatu yang direncanakan saja selalu ada yang berubah, walaupun hanya sedikit. Tidak ada rencana yang sempurna, karena kita tidak tahu masa depan seperti apa. Begitupun para korban, mereka tidak ingin hal itu terjadi, tapi malangnya itu terjadi kepada mereka. Jika mereka kembali ke masa lalu, mungkin mereka ingin memperbaiki apa yang terjadi.
Saya membaca sebuah tulisan di sebuah status WA yang intinya seperti ini. Mereka berpikir mengkrangkeng para korban adalah ide terbaik, bukan mengkrangkeng para pelakunya. Dan menurut mereka itulah yang akan melindungi korban. Padahal itu melindungi para pelaku. Jika singa adalah binatang buas dan manusia adalah mangsanya, maka yang seharusnya ditangkap adalah singa bukan manusianya. Yang terjadi pada para korban adalah sebaliknya apalagi jika korban itu seorang perempuan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI