Pengertian Perempuan
Perempuan adalah salah satu jenis kelamin manusia. Jenis kelamin ada dua yaitu lelaki (pria) atau perempuan (wanita). Berbeda dari wanita, istilah "perempuan" bersifat umum baik dewasa maupun anak-anak. Perempuan pertama yang diciptakan adalah Siti Hawa a.s yang menemani nabi Adam a.s. serta sebagai tonggak awal terjadinya kehidupan. Walaupun dalam berbagai cerita bahwa oleh Siti Hawa lah Nabi Adam harus di turunkan dari surganya Allah swt. Karena terbujuk rayuan Nabi Adam a.s melanggar perintah Allah swt untuk tidak memakan buah khuldi. Sehingga perempuan dianggap sebagai perusak. Padahal itu sudah menjadi suratan takdir dalam penciptaan manusia di bumi.
Dalam sejarah penciptaan manusia menurut islam bahwa manusia diciptakan sebagai khalifah di bumi atau pemimpin di muka bumi. Oleh sebab itu Allah menurunkan Nabi Adam a.s bersama Siti Hawa untuk menjadi khalifah di bumi. Mereka yang akan menciptakan ketenteraman dan kesejahteraan di dunia. Itulah sebabnya manusia muncul dengan dua jenis, yaitu laki-laki dan perempuan. Perempuan diciptakan untuk menjadi pasangan atau teman laki-laki. Pada dasarnya saat menciptakan manusia, Allah telah menciptakan dalam bentuk jiwa dan raga, beserta sifat-sifat dasar manusia seperti ingin dicintai dan mencintai, kebutuhan biologis dan sebagainya. Maka dari kedua jenis manusia itu diciptakan berbeda-beda untuk saling mengisi satu sama lain.
Pengertian Pemimpin
Dalam bahasa Indonesia "pemimpin" sering disebut penghulu, pemuka, pelopor, pembina, panutan, pembimbing, pengurus, penggerak, ketua, kepala, penuntun, raja, tua-tua, dan sebagainya. Sedangkan istilah Memimpin digunakan dalam konteks hasil penggunaan peran seseorang berkaitan dengan kemampuannya mempengaruhi orang lain dengan berbagai cara. Â Istilah pemimpin, kemimpinan, dan memimpin pada mulanya berasal dari kata dasar yang sama "pimpin". Namun demikian ketiganya digunakan dalam konteks yang berbeda.
Pemimpin adalah suatu lakon/peran dalam sistem tertentu; karenanya seseorang dalam peran formal belum tentu memiliki ketrampilan kepemimpinan dan belum tentu mampu memimpin. Istilah Kepemimpinan pada dasarnya berhubungan dengan ketrampilan, kecakapan, dan tingkat pengaruh yang dimiliki seseorang oleh sebab itu kepemimpinan bisa dimiliki oleh orang yang bukan pemimpin.
Kedudukan PerempuanÂ
Dalam Islam, perempuan juga memiliki kedudukan tinggi sebagai manusia karena perempuan dan laki-laki tidak berbeda dalam sisi kemanusiaan. Manusia di dalam al-Quran disebutkan sebagai khalifah di bumi Allah Swt yang memperoleh kemuliaan.
"Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkat mereka di  daratan dan di lautan, kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan". (QS. al-Isra':70)
Semua ini diperoleh karena pengaruh sifat kemanusiaan. Al-Quran menjelaskan hal itu berkenaan dengan Nabi Adam as:
"Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman, "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!" Mereka menjawab, "Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." Allah Swt berfirman, "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini." Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah Swt berfirman. "Bukanlah sudah Kukatakan kepadamu bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan." (QS. al-Baqarah: 31-33)
Apabila Nabi Adam mampu memahami Asma' (nama-nama) dan menjawabnya, hal itu karena pengaruh spesifik penciptaan kemanusiaan. Maka, perempuan dan laki-laki dalam penciptaannya juga memiliki kemampuan yang sama. Secara umum, setiap pujian kepada manusia yang terdapat di dalam al-Quran dan hadis pasti berkenaan dengan seluruh manusia, baik perempuan maupun laki-laki. Di dalam al-Quran, tidak terdapat ayat yang mencela kewanitaan seorang perempuan. Oleh karena itu, perempuan dan laki-laki, menurut perspektif Islam, adalah dua manusia yang sama. Dalam banyak nilai, mereka tidaklah berbeda. Mereka pun bertanggung jawab terhadap hal yang sama dalam mengatur masyarakat, yang sebagian tanggung jawab tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:
 "Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan darinya Allah Swt menciptakan pasangannya dan dari keduanya memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan ) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain dan (peliharalah) hubungan silaturrahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu." (QS. an-Nisa': 1)
Dalam ayat-ayat di atas, disebutkan bahwa perempuan dan laki-laki adalah dua pondasi penting masyarakat dan standar keutamaan setiap perempuan dan laki-laki adalah pemeliharaan takwa. Al-Quran menganggap bahwa satu-satunya media kebahagiaan manusia adalah keimanan kepada Allah Swt, penyucian dan pembersihan diri dari segala keburukan, pemeliharaan takwa, serta pelaksanaan amal saleh.
Dari sisi ini, Al-Quran tidak membedakan antara perempuan dan laki-laki, bahkan menganggap keduanya mempunyai kelayakan untuk meningkatkan dan menyempurnakan spiritualitas serta kedekatan diri dengan Allah Swt.
"Allah Swt di dalam Al-Quran berfirman, Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik. Dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang telah mereka kerjakan." (QS. an-Nahl: 97)
Al-Quran menjelaskan para perempuan utama sepanjang sejarah, seperti juga menjelaskan para lelaki utama, dan memuji mereka.
Al-Quran juga mengatakan: "Dan (ingatlah) ketika Malaikat (Jibril) berkata, "Hai Maryam! Sesungguhnya Allah telah memilih kamu, menyucikan kamu, dan melebihkan kamu atas segala perempuan di dunia (yang semasa dengan kamu.)" (QS. Ali Imran: 42)
Islam menganggap bahwa perempuan dan laki-laki adalah dua pondasi masyarakat tempat mereka mempunyai peran yang sama dalam penciptaan, pembentukan, pengaturan, dan pemanfaatan masyarakat.
Benar bahwa hadir di medan jihad dan bertempur melawan musuh tidak wajib atas perempuan tetapi tidak semua tanggung jawab sosial dicabut dari mereka. Amar ma'ruf nahi munkar, mempertahankan agama dan kesuciannya, tabligh, dan menyebarkan Islam, melawan  kezaliman dan kesewenang-wenangan, membela hak-hak orang-orang tertindas  dan terzalimi, saling membantu dalam pekerjaan-pekerjaan yang baik, menolong orang-orang fakir dan miskin, merawat orang-orang sakit, cacat, dan orang-orang jompo, memberantas kerusakan-kerusakan moral dan sosial, mendidik anak-anak,  mengajar dan mengangkat taraf pendidikan individu-individu masyarakat, mengokohkan dan menguatkan pemerintahan Islam yang adil, mempertahankan nilai-nilai Islam, membantu sendi ekonomi keluarga dan negara, serta puluhan tanggung jawab lainnya tetap berada di atas pundak, baik kaum perempuan maupun laki-laki.
Islam mempunyai banyak penegasan dalam persoalan mencari ilmu dan menganggapnya sebagai suatu kewajiban.
Imam Shadiq as menukil dari Rasulullah Saw yang bersabda, "Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap Muslim. Ketahuilah sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang menuntut ilmu."
Para perempuan sebagai individu Muslim memiliki tugas untuk berusaha menuntut ilmu hingga ia mati, khususnya menuntut ilmu-ilmu yang secara langsung merupakan kebutuhan mereka seperti kedokteran, psikologi, farmasi, pendidikan, biologi, kimia, manajemen, akuntansi, pengetahuan Islam, tafsir, akidah, fikih, sejarah, kesusasteraan, seni, bahasa, hukum, ekonomi, dan lain-lain.
Kira-kira separuh lebih jumlah suatu masyarakat adalah kaum perempuan dan mereka mestilah ikut andil dalam bidang-bidang tersebut. Oleh sebab itu, seharusnya jumlah para ilmuwan dan spesialis yang berasal dari kaum mereka sama dengan jumlah dari kaum lelaki. Seharusnya separuh rumah sakit, klinik, universitas, sekolah menengah atas, sekolah dasar, perguruan tinggi, farmasi, laboratorium, sekolah-sekolah ilmu agama, mubalig, dan pusat-pusat dakwah Islam dikhususkan bagi kaum perempuan. Demikian juga, rumah sakit bersalin seharusnya khusus bagi para perempuan sementara ilmuwan dan pakar perempuan mestinya berjumlah sama dengan ilmuwan dan pakar lelaki. Namun, sangatlah disesalkan hal seperti itu tidak terjadi.
Kesenjangan tersebut terjadi disebabkan oleh dua faktor:
Salah satunya adalah arogansi, diskriminasi, dan ketidakadilan kaum lelaki sepanjang sejarah yang mencegah kaum perempuan dari hak-hak legal mereka dan menjadikan perempuan selalu bergantung kepada mereka. Kaum perempuan harus mengetahui tanggung jawab dan peranannya serta berusaha untuk meraih kebebasan dan kecukupan sehingga dapat mempertahankan hak-hak mereka.
Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam
Perempuan pada jaman pra islam sama sekali tidak mempunyai kekuatan, mereka seperti barang yang dapat di perjual belikan bahkan di wariskan tetapi saat islam muncul maka harkat dan martabat perempuan di angkat. Posisi kaum perempuan disamakan dengan posisi kaum laki-laki. Tapi sayangnya ada kesalahan penafsiran sehingga terdapat tafsir bias jender di tengah masyarakat kaum muslimin. Yang mengakibatkan proses Marginalisasi.
Contohnya " Al-Rijalu qawwamuna'alannissa. " (Laki-laki adalah pemimpin atas wanita) Q.s An-nisa ayat 34. Tafsir tradisional selama ini adalah bahwa penguasa laki-laki atas perempuan. Penafiran ini atas dasar dari konsekuensinya laki-laki sebagai pencari nafkah dan dianggap sebagai keunggulan dari wanita. Oleh sebab itu perempuan harus membayar dengan cara patuh dan taat kepada suami meskipun ia harus dipukul.
Dalam tatanan masyarakat pada jaman saat ini bila memposisikan laki-laki sebagai pencari nafkah maka hal itu sudah mulai pudar, power laki-laki dihadapan perempun mulai luntur. Maka penafsiran tradisional diatas tidak sesuai, penafsiran tradisional juga diakibatkan kurangnya penafsiran perempuan sehingga tidak memasukkan bagaimana pandangan perempuan atas apa yang terjadi dimasa lampau.
Masyarakat Islam klasik kelihatannya belum bisa menerima kesetaraan jender dalam arti yang sebenarnya, misalnya kurang diberdayakannya wanita dalam aktivitas sosial apalagi dalam kancah politik. Umumnya ulama klasik tidak mengizinkan perempuan untuk diangkat sebagai pemimpin pada semua lini. Hanya Abu Hanifah (700-767 M) yang membolehkan wanita menjadi hakim dalam menangani perkara-perkara perdata dan perkara lain yang menyangkut harta. Demikian juga al-Thabariy (839-923 M) lebih longgar mengizinkan perempuan menjadi hakim dalam segala perkara.
Karenanya, bila ada seorang perempuan melebihi kemampuan kebanyakan laki-laki, maka hal tersebut tidak dapat dijadikan argumen untuk membenarkan alasan perempuan boleh menjadi pemimpin atas laki-laki secara umum, misalnya menjadi pemimpin pemerintahan atau negara. Seiring dengan perkembangan hidup masyarakat yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, tampaknya berimplikasi pada corak pemahaman umat Islam terhadap teks nash khususnya menyangkut eksistensi perempuan sebagai 'ibad Allah (hamba Allah) dan khalifat Allah fi al-ardl (wakil Tuhan di dunia).
Dengan demikian hadis Abiy Bakrah tersebut kurang tepat untuk dijadikan hujjah dalam menolak kepemimpinan perempuan. Selain itu, maksud kalimat "Tidak akan sejahtera suatu kaum yang menyerahkan urusan (pemerintahan) kepada perempuan", adalah penyerahan seluruh urusan pemerintahan kepada perempuan. Kata amr (urusan) dalam hadist ini bersifat total atau menyeluruh. Pengendalian pemerintahan secara total hanya dikenal dalam sistem diktator absolut, yang sudah barang tentu tidak sesuai dengan syari'at atau hukum formal.
Oleh karena itu, kepemimpinan perempuan yang dimaksud dalam hadis ini adalah kepemimpinan yang memegang kekuasaan sepenuhnya atas semua urusan negara dan memerintah sewenang-wenang. Sebaliknya, jika seorang perempuan memimpin suatu negara dengan melibatkan berbagai unsur yang lain sesuai asas demokrasi dan syura', maka hal itu tidak dapat dikategorikan sebagai madlul dari hadis di atas.
Islam telah memberi berbagai hak, kehormatan, dan kewajiban kepada perempuan sesuai dengan harkat dan martabat mereka sebagai makhluk yang bertanggungjawab di hadirat Allah baik terhadap diri, keluarga, masyarakat, maupun negara. Jika Allah saja telah memberikan hak dan tanggungjawab kepada kaum perempuan yaitu menjadi "manusia" sebagai hamba-Nya karena itu, tidak ada alasan bagi kaum laki-laki untuk merasa superior tehadap jender perempuan. Mereka adalah sama-sama makhluk Allah yang akan mempertanggunjawabkan segala aktivitasnya di hadapan Allah swt.
Selain itu, menolak perempuan untuk tampil dipentas politik berarti  mendiskreditkan mereka yang berarti melanggar Hak-Hak Asasi Manusia (HAM) dalam pembukaan Piagam PBB disebutkan hal-hal yang menunjukkan urgensi persamaan universal antara laki-laki dan perempuan. Diktum itu bebunyi : "Kita, sebagai warga Perserikatan Bangsa Bangsa, menjamin penetapan kembali atas pengakuan hak-hak politik manusia, harkat dan martabat individu, dan persamaan hak-hak antara laki-laki dan perempuan, tua dan muda."
Selanjutnya, pasal 13 Piagam PBB tersebut merekomendir Sidang Umum untuk melakukan penelitian-penelitian dan mengeluarkan rekomendasi-rekomendasi dalam rangka membantu mewujudkan hak-hak asasi manusia, kebebasan asasi individu, tanpa diskriminasi golongan, bahasa, agama, maupun pembedaan jenis kelamin.
Prinsip-prinsip yang sama juga terdapat dalam pasal 1 dan 2 yang berbuinyi : 1). Seluruh anak manusia dilahirkan bebas dan sama martabat dan haknya. Mereka semua diberi akal dan persamaan yang sama; mereka wajib saling berinteraksi dengan semangat persaudaraan. 2). Setiap manusia berhak menikmati hak-hak dan kebebasan yang tercantum dalam deklarasi ini tanpa diskriminasi dan tanpa pembedaan jender. Demikian halnya dalam pasal 21 disebutkan bahwa setiap individu memiliki hak untuk ikut terlibat dalam pengelolaan urusan-urusan publik negaranya, baik secara langsung maupun tidak langsung, yakni melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas.
Barangkali faktor penyebabnya adalah pemahaman orang terhadap perempuan sebagai the second class dari kaum lelaki. Selain itu, oleh faktor pemahaman keagamaan yang "kaku" sehingga menempatkan perempuan pada posisi marginal. Penyebab yang kedua ini yang bagi penulis menarik untuk dikaji dalam rangka mengungkap misteri keterbelakangan kaum perempuan khususnya dalam bidang politik di masa lampau. Dampak keterbelakangan tersebut hingga sekarang ini masih dirasakan, terutama di kawasan muslim countries yang notabene menganut agama yang sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat perempuan. Selanjutnya akan dikemukakan beberapa contoh perubahan pandangan ulama terhadap kepemimpinan perempuan khususnya di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, sebagai dampak dari pengaruh perkembangan hidup masyarakat.
Mesir misalnya, merupakan negara yang mayoritas penduduknya menganut agama Islam. Pada awalnya, sangat menentang pengangkatan seorang perempuan sebagai top leader berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh ulama al-Azhar al-Syarif sebagai representasi dari komunitas muslim Mesir. Kewenangan tersebut dibagi dua yakni kewenangan publik (al-walayat al-'ammah) dan kewenangan privat (al-walayat al-khassah).
Menurut fatwa tersebut, syari'at Islam memberi kelonggaran kepada perempuan dalam hal-hal yang termasuk kewenangan privat (al-walayat al-khassah), misalnya hak mengelola harta miliknya : menjual, menghibahkan, menggadaikan, menyewakan, dan melakukan transaksi-transaksi lainnya. Tidak ada orang lain baik suami ataupun anggota keluarga lainnya yang berhak mencampuri dalam urusan-urusan tersebut.
Adapun menyangkut kewenangan publik (al-walayat al-'ammah) terutama segi fungsi keanggotaan parlemen seperti menetapkan undang-undang dan mengawasi proses pelaksanaannya, masih diserahkan sepenuhnya hanya kepada laki-laki, itu pun yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
Akan tetapi, dalam perkembangan berikutnya ternyata ulama Mesir berpandangan lain, yakni menerima kehadiran perempuan di pentas politik. Hal tersebut dapat dilihat misalnya dalam pasal 1 Undang-Undang Pengaturan Pemilikan Hak-Hak Politik No. 13 Tahun 1956 mencantumkan bahwa setiap warga negara Mesir, laki-laki maupun perempuan yang telah mencapai usia 18 tahun hitungan Masehi, dengan sendirinya telah memiliki hak-hak politik. Bahkan dalam aturan-aturan keanggotaan Majlis Umat, tidak mencantumkan lagi syarat-syarat yang berkaitan dengan soal jender (jenis kelamin). Ini berbeda dengan peraturan sebelumnya yang mensyaratkan anggotanya hanya terdiri dari laki-laki dan tidak menerima perempuan.
Dalam Undang-Undang Dasar Mesir sekarang, secara umum mencantumkan prinsip persamaan jender, misalnya pasal 11 ditetapkan bahwa negara wajib menjamin keselarasan antara tugas-tugas perempuan terhadap keluarganya dan aktivitas-aktivitas sosialnya dan wajib menjamin persamaannya dengan laki-laki di berbagai bidang kehidupan politik, sosial, budaya, dan ekonomi tanpa harus melanggar syariat Islam. Pada pasal 75 yang mengatur tentang syarat kandidat presidenpun tidak mencantumkan lagi jenis kelamin. Syarat-syarat yang dimaksud adalah :
1. Warga negara Mesir;
2. Keturunan dari pasangan warga negara Mesir;
3. Tidak sedang dicabut hak politik dan hak sipilnya; dan
4. Umur minimal 40 tahun hitungan Masehi.
Perubahan pola pikir ulama Mesir terhadap keikutsertaan perempuan dalam berbagai lini kehidupan khususnya aspek politik tidaklah muncul dengan sendirinya. Akan tetapi, melalui proses yang panjang dengan perjuangan yang gigih dilalukukan oleh sejumlah pemikir-pemikir pembaharu Mesir seperti Rifa'ah al-Thahthawiy, Qasim Amin, Malak Hefni Nashif, Huda Sya'rawi dan Munirah Tsabit Musa. Mereka benar-benar melakukan aksi dalam berbagai bentuk dan gerakan demi memperjuangkan harkat dan martabat kaum perempuana yang lebih dikenal dengan istilah "emansipasi" atau "kesetaraan jender".
Al-Thahthawiy (1801-1877 M) misalnya, telah mencurahkan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk memperjuangkan hak-hak perempuan. Ia menulis buku berjudul : al-Mursyid al-Amin li al-Banat wa al-Banin pada tahun 1872 M. Dalam buku tersebut, ia menggambarkan betapa pentingnya emansipasi wanita, namun ia tidak sepakat dengan kebebasan perempuan ala Barat. Kebebasan yang ia maksudkan adalah kebebasan dalam kerangka ajaran-ajaran Islam yang hanif.
Tokoh emansipasi wanita lainnya adalah Qasim Amin. Ia sangat gigih memperjuangkan kesetaraan jender melalui beberapa karya tulisnya antara lain : Tahrir al-Mar'ah, al-Mar'at al-Jadidah, dan Halat al-Mar'at fi al-Hay'at al-Ijtima'iyat Tabi'at li Halat al-Adab fi al-Ummah. Khusus buku Tahrir al-Mar'ah, telah menimbulkan kontroversial di kalangan masyarakat Mesir ketika itu karena dianggap sebagai propaganda penanggalan kerudung wanita.
Demikian halnya dengan para ulama di Pakistan. Pada awalnya, pandangan mereka tentang kedudukan perempuan tidak jauh berbeda dengan pandangan ulama di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Dalam artian, pada umumnya para ulama dahulu tidak menerima keikutsertaan kaum perempuan dalam berbagai aktivitas kemasyarakatan apalagi untuk diberi kesempatan menduduki jabatan-jabatan strategis dalam pemerintahan teristimewa sebagai kepala negara atau kepala pemerintahan.
Akan tetapi, persepsi ulama Pakistan benar-benar telah berubah pasca presiden Zia-ul-Haq. Hal itu ditandai dengan terpilihnya Benazir Bhutto sebagai Perdana Menteri (kepala pemerintahan). Perubahan pandangan ulama Pakistan tentang posisi wanita tersebut tentunya tidak dapat dipisahkan dari perkembangan dan kemajuan yang dialami oleh kaum perempuan sebagai dampak dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama gerakan emansipasi wanita yang merambah dari negara-negara maju.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kemajuan yang telah dicapai oleh perempuan tersebut telah berperan bahkan menentukan perubahan persepsi ulama Pakistan terhadap aplikasi hukum Islam khususnya mengenai kepemimpinan perempuan. Apa yang terjadi di Pakistan, juga terjadi di negara Bangladesh yang penduduknya mayoritas beragama Islam. Pada awalnya, ulama dan masyarakat Bangladesh memposisikan kaum perempuan di sana pada keadaan yang marginal. Mereka (wanita) kurang mendapatkan apresiasi (kesetaraan jender) dari ulama dan masyarakat terutama dalam mengisi posisi strategis di pemerintahan. Akan tetapi, situasinya telah berubah seiring dengan perubahan perkembangan hidup masyarakat yang semakin maju sebagai dampak dari era globalisasi dunia.
Perubahan pemikiran ulama Banglades h tentang kepemimpinan perempuan dari tidak boleh menjadi boleh ditandai dengan naiknya seorang wanita bernama Khalidah Ahmad menduduki pucuk pimpinan sebagai Perdana Menteri. Peristiwa seperti ini menunjukkan bahwa ulama Bangladesh telah menerima kepemimpinan perempuan sehingga dengan demikian, kesetaraan jender di Bangladesh benar-benar telah teraplikasikan. Perempuan tidak lagi dipandang sebagai makhluk yang rendah derajatnya dari laki-laki sehingga mengantarkan mereka pada posisi marginal dalam kehidupan masyarakat. Mereka (wanita) telah menjadi partner laki-laki yang kedudukannya setara tanpa adanya diskriminasi terhadap salah satu pihak.
Kesetaraan tersebut mengajarkan nilai-nilai persamaan (equality) dan keadilan (justice) yang sangat dijunjung tinggi dalam ajaran Islam. Nilai-nilai seperti inilah yang tampaknya "terlupakan" dalam kebanyakan komunitas muslim (islamic society), sehingga menempatkan wanita sebagai subordinat laki-laki. Perilaku seperti ini dapat dikatakan bukan hanya tidak sejalan dengan ajaran Islam bahkan justru bertentangan dengan nilai dasar ajaran Islam.
Selanjutnya, ulama di Indonesia pada awalnya sebenarnya juga menolak keberadaan perempuan pada urusan publik, apa lagi sebagai pemimpin baik dalam skala kecil maupun skala besar seperti presiden. Padahal bila dilihat dari hasil sensus penduduk yang terakhir menunjukkan sekitar lebih dari 50 % penduduk Indonesia terdiri dari kaum perempuan. Hanya saja mereka mayoritas dalam kuantitas tetapi minoritas dalam kualitas. Barangkali itulah salah satu penyebabnya sehingga ulama Indonesia tidak menerima kepemimpinan perempuan (kepala negara).
Selain faktor pendidikan yang menyebabkan ketertinggalan perempuan, juga adanya pandangan masyarakat yang menganggap kedudukan wanita berada di bawah laki-laki. Persepsi seperti ini sangat berpengaruh dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga tidak mengherankan pada akhirnya jarang sekali ditemukan perempuan yang diangkat menjadi pemimpin publik khususnya era paca kemerdekaan.
Di kalangan masyarakat muslim, tampaknya telah terbangun suatu opini bahwa perempuan tidak pantas menjadi pemimpin berdasarkan teks Alquran dan hadist. Pemahaman semacam ini sangat literal tekstual dan diskriminatif terhadap kaum perempuan, padahal Tuhan sendiri mengakui persamaan derajat antara laki-laki dan wanita. Itulah sebabnya Benazir Bhutto mengatakan bahwa bukan Islam yang menolak kepemimpinan perempuan tetapi penganutnya itu sendiri, pernyataan Bhutto tersebut mungkin juga ada benarnya, sebab cukup banyak teks nash yang dipahami oleh ulama khususnya era klasik yang tidak steril dari bias-bias jender. Salah satunya adalah penafsiran terhadap ayat 34 surat al-Nisa yang menyatakan laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan".
Pandangan ulama Indonesia terhadap kepemimpinan perempuan ternyata berubah seiring dengan kemajuan dan perkembangan kehidupan bangsa Indonesia. Bahkan dapat dikatakan bahwa perubahan itu sangat drastis di jaman reformasi, karena sebelumnya ulama tidak mengizinkan seorang perempuan untuk duduk sebagai kepala negara (presiden). Namun dengan naiknya Megawati Soekarnoputri sebagai presiden RI ke-5, maka dengan sendirinya kepemimpinan perempuan sudah dianggap sah-sah saja di mata ulama. Walaupun black campaign dengan isu literatur islam yang bias jender menjadi serangan empuk bagi perempuan yang akan mencalonkan diri menjadi pemimpin. Alangkah lebih baiknya jika melihat dari kemampuannya sebagai manusia, apakah sesuai atau tidak sesuai untuk dipilih.
Mengamati peristiwa demi peristiwa yang terjadi sehubungan dengan kepemimpinan perempuan, dapat dikatakan bahwa kemungkinan perubahan pandangan ulama tentang hal tersebut disebabkan karena kemajuan yang telah dicapai oleh wanita dalam berbagai hal. Selain itu, barangkali juga karena tuntutan jaman yang menghendaki kesetaraan jender sehingga "memaksa" ulama untuk menerima perempuan menjadi presiden. Walaupun hingga saat ini, belum ada perempuan yang menjadi presiden di Indonesia selain Ibu Mega Wati terlepas dari isu politik.Â
Kepemimpinan perempuan bukanlah suatu ancaman untuk kaum lelaki, sehingga harus takut kehilangan powernya didepan para perempuan, bahwa seharusnya ini menjadi suatu kolaborasi penting dalam menjalan tugas sebagai khalifah di bumi berbagi tugas dan beban agar tidak terasa berat. Dengan memberikan jalan perempuan untuk menjadi seorang pemimpin maka dengan kesadaran penuh tidak menolak keberasan Allah SWT memberikan akan dan potensi yang luarbiasa kepada manusia termasuk perempuannya sehingga apa yang diberikan Allah SWT tidaklah disia-siakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H