Pernikahan memang menjadi salah satu kebahagiaan yang diinginkan oleh setiap orang. Namun, apakah kita sudah mengetahui apa itu pernikahan?
Pernikahan adalah ikatan janji suci antara pasangan. Pernikahan tidak boleh dilakukan sembarangan karena ini menjadi suatu ibadah yang harus dijaga sampai akhir hayat. Di Indonesia, terdapat undang-undang pernikahan ideal yaitu laki-laki berusia minimal 21 tahun dan perempuan minimal berusia 19 tahun, karena dianggap sudah memasuki usia dewasa dan mampu menanggung tanggung jawab yang besar. Sedangkan dibawah usia tersebut disebut dengan pernikahan dini. Hal ini diperkuat oleh UU Pemilu No. 10 Tahun 2008, yang menyebutkan umur seseorang dikategorikan sebagai anak adalah hingga usia 17 tahun setelah itu akan berubah kategorinya menjadi dewasa.
Pernikahan belum cukup umur di Indonesia marak terjadi, bukan hanya di desa tetapi di kota juga. Saat ini jumlah angka pernikahan dini mencapai 1,2 juta kejadian. Dilansir dari kompasiana.com tingkat pernikahan dini sebanyak 38% pada anak perempuan dan 3,7% pada anak laki-laki. Indonesia menduduki peringkat ke-8 di dunia dan ke-2 di ASEAN.Â
Penyebab dari pernikahan dini yaitu kebanyakan orang karena terdapatnya kepercayaan masyarakat bahwa menikah diatas dua puluh tahun bukanlah usia yang ideal. Mereka memiliki ketakutan jika semakin tua semakin sulit untuk mempunyai keturunan, sehingga lebih baik mereka menikah diusia dini. Adat istiadat dan pemikiran kuno dari para orang tua juga yang membuat anak menjadi korban. Berdasarkan pengalaman penulis, tidak sedikit orang menikah dini karena paksaan dari orang tuanya. Salah satunya karena faktor ekonomi dan kepercayaan jika anak perempuan harus memiliki suami kaya raya. Sehingga, dengan memiliki menantu kaya raya ekonomi mereka akan tercukupi.Â
Selain itu, faktor terjadinya pernikahan dini yaitu karena pergaulan bebas yang menyebabkan kehamilan diluar keinginan atau MBA (Marriged By Acident). Kehamilan diluar nikah banyak dilakukan oleh anak dibawah umur. Sarwono (2003) berpendapat pernikahan dini kebanyakan terjadi saat anak-anak mengalami pubertas, karena pada usia tersebut sangat rentan terhadap perilaku seksual. Akibat dari terlalu bebasnya mereka berpacaran, mereka akhirnya dapat melakukan seks pranikah dan menyebabkan kehamilan.Â
Ketika pasangan yang belum menikah terjadi kecelakaan seks, masyarakat terutama pihak keluarga memutuskan untuk menikahkannya dengan alasan tidak ingin mempermalukan pihak keluarga. Padahal, penulis berpendapat bahwa pada usia dini ini, mereka belum memiliki kematangan dari segi finansial maupun mental yang menyebabkan perceraian. Tingginya angka perceraian di Indonesia salah satu penyebabnya yaitu karena menikah dini. Diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Mies Grinjis dan Hoko Horii menunjukan adanya 50% pernikahan dini yang berakhir pada perceraian. Dlori ( 2005:22 ) juga berpendapat bahwa pernikahan dini adalah sebuah pernikahan dibawah umur yang persiapanya belum bisa dikatakan maksimal secara fisik, mental dan materi.
Pada tahun 2021, sebanyak 447.743 kasus perceraian di Indonesia hal ini mengalami kenaikan dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya mencapai 291.677 kasus, hal ini berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Statistik Indonesia 2022. Banyaknya kasus perceraian pernikahan dini dikarenakan umur mereka yang belum siap dan belum matang untuk membangun rumah tangga, apalagi jika pernikahan berlangsung karena MBA sangat berdampak buruk kepada anaknya saat perceraian terjadi. Menurut Komnas Perempuan, sepanjang tahun 2021, ada 59.709 kasus pernikahan dini yang diberikan dispensasi oleh pengadilan.
Jika bercerai dalam keadaan anak masih balita, anak bisa saja mengalami stunting. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), kasus stunting di Indonesia terjadi pada anak berumur dibawah tiga tahun (batita) dengan usia ibu 14-15 tahun sebesar 43,5%, sedangkan 22,4% dengan rentang usia 16-17 tahun. Hal ini karena kurangnya pengetahuan yang didapat. Selain itu, karena perceraian ini ekonomi menjadi lebih buruk dan kebutuhan gizi anak kurang terpenuhi yang dapat menyebabkan stunting. Selain itu, anak juga akan terganggu pada perkembangannya karena orang tuanya sering tidak memperhatikan, tingkat kecerdasannya juga akan menurun karena kurang pandainya dalam mendidik.
Ketika anak sudah beranjak dewasa dan merasa keluarganya tidak lagi sempurna, ini akan berdampak pada kesehatan mental maupun perubahan perilakunya. Dimulai dari rasa iri hati terhadap teman-temannya yang sering kali menghabiskan waktu dengan kedua orang tuanya. Pemikiran rasa bersalah yang menghantui mereka juga menjadi akibat karena mereka berpikir salah satu penyebab orang tuanya bercerai adalah karenanya.
Terkadang anak juga akan merasa terjebak di tengah ketika orang tua bercerai. Kemarahan, ketakutan, kecemasan akan perpisahan, kesedihan, dan rasa malu adalah reaksi yang dialami sebagian besar anak. Anak-anak yang mengalami hambatan dalam mewujudkan perasaan cinta dan memiliki orang tua harus menghadapi kenyataan bahwa orang tuanya bercerai. Anak akan memiliki kesan yang buruk mengenai kehidupan keluarga. Menurutnya perceraian adalah kekurangan yang memalukandan hampir selalu membuatnya sedih, marah, dan mental lemah, dan mengalami segala macam masalah psikologis, sehingga ia cenderung tidak mengungkapkan perasaannya.
Rasa trauma yang ada pada anak akan dibawa terus hingga dewasa. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu anak berinisial R (20) karena orang tuanya melakukan pernikahan dini dan berujung perceraian, ia menjadi merasa enggan untuk menikah apalagi menikah dini karena takut mengalami hal yang sama dengan kedua orang tuanya. Namun, jika memang sudah terlanjur sebisa mungkin kita tidak boleh meninggalkan bekas trauma bagi anak.Â