Aku selalu mengamatimu dari tempat ini. Melihatmu kemanapun kaki itu membawamu pergi. Di kursi tua itu tempat disaat aku dan kamu masih bersama dulu, menjadi saksi bisu atas setiap janji-janji yang diikrarkan. Kini hanya kau yang mengisi kursi itu di sana. Kau menundukan wajahmu. Tersenyum atau bersedihkah kau dibalik sana? Rambutmu menutupi pandanganku tuk melihat wajahmu dibalik geraian rambut itu. Perlahan kau mengangkat wajahmu, pandanganmu lurus ke depan sana. Apa yang begitu kau amati disana, sayang?
Kau menutup matamu setiap ada langkah kaki melintas di belakangmu, nampak kecewa ketika langkah itu melintas begitu saja. Dulu, aku yang selalu mengejutkanmu dari belakang sana, menutup matamu. Kau meraba wajahku, menerka itu aku. Tentu kau pasti sudah tahu itu aku, kau bisa merasakan tangan ini, bukan?
Setahun yang lalu, tepat perayaan hari jadi kita yang ke-4 di tempat itu pula. Kau nampak berbeda saat itu, kau yang biasanya selalu benci dengan kata terlambat. Kau malah membiarkan aku menunggu di tempat itu begitu lama, tanpa kabar. Jujur aku sangat cemas saat itu, kau tak seperti biasanya. Aku mencoba menghubungimu, tak bisa. Aku coba menghubungi keluargamu, sahabat-sahabat dekatmu, mereka tak ada yang tahu akan keberadaanmu. “Dimana kau sayang?” aku mulai gelisah, hati ini tak menentu rasanya. Tiba-tiba sepasang tangan menutup mataku, pandanganku gelap. Kau mencoba menerka siapa pemilik sepasang tangan, bukan tanganmu. Iya,itu bukan tanganmu. Ini bukan jari-jari tanganmu. Ku coba meraba wajah pemilik tangan itu, itu bukan wajahmu. Aku melempar tangan itu dari wajahku, ku berbalik. “Surprise” seruan terdengar dihadapanku. Ingin rasanya aku memarahimu saat itu, kau membiarkan aku khawatir. Sementara kau dan teman-temanmu datang dengan wajah tak bersalah. Kau tersenyum dihadapanku, memelukku. “Maafkan aku sayang, aku hanya ingin kamu tahu bagaimana rasanya menunggu tanpa ada kabar. Begitulah perasaan aku selama ini sayang.” “Happy Anniversary, sayang. Semoga kita selalu bersama selama-lamanya. Aku mencintaimu.” Amarahku memudar mendengar pernyataan itu, selama ini akulah yang selalu datang terlambat. “Maafkan aku sayang, aku mencintaimu.”
Kau masih duduk di kursi itu, sesekali menoleh ke jalan setapak, mengamati jarum jam ditanganmu yang terus berjalan. Siapa yang sedang kau tunggu disana? Apa kau menungguku? Sekotak kue coklat ditanganmu, bertuliskan namamu dan namaku “Happy Anniversary 5th” Aku hampir saja melupakan hari ini, hari jadi kita yang ke-5. Happy Anniversary, sayang. Hanya bisa kuucapkan dalam hati saat ini. Kau meraih ponselmu, menekan tombol-tombol itu. Itu nomorku. Berulang kali, kau tekan angka-angka itu. Kau mulai kesal, kau melempar ponsel itu diantara rerumputan.Wajahmu nampak kecewa. Aku mengerti bila kamu kecewa, marah. Maafkan aku.
Tetesan air itu menyentuh pipimu. Aku tak mampu tuk menghentikannya, menghapusnya, seperti yang biasa aku lakukan dulu. Aku semakin merasa bersalah, membuat dirimu sesedih ini. Ingin aku memaki, kenapa aku waktu tak lebih lama lagi di sana. Namun, pada siapa aku harus memaki. Akankah aku akan kembali di dunia itu, dengan aku memaki. Tidak, aku tidak akan pernah disana lagi. Aku sudah di sini, di duniaku yang baru.
Jagalah dirimu di sana sayang, berhentilah menangis. Aku akan sangat sedih melihat pipimu terodai air mata itu. Biarlah orang itu yang memelukmu kini dalam tangis, yang akan menjagamu kelak. Dia akan menyayangimu. Berbahagialah bersamanya sayang. “Cintaku hanya untukmu”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H