Mohon tunggu...
Inuy
Inuy Mohon Tunggu... -

simply girl

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bahasa Negeri Sakura

30 Juni 2012   14:29 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:23 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pernahkah kalian bertemu orang asing, mengajak kalian berbincang-bincang atau mungkin hanya sekedar menanyakan jalan pulang. Sebagian besar dari kalian pasti menjawab iya, bukan? Hal ini mungkin sudah menjadi sesuatu yang biasa dalam hidup kalian.Dan, pernahkah kalian bertemu mereka yang berbeda bahasa dengan Negara kita, menanyakan suatu tempat pada kalian? Ini juga sudah menjadi hal yang wajar bagi kalian yang hidup di daerah pariwisata. Sudah ada sebuah bahasa international yang membantu kita berkomunikasi dengan orang-orang di luar Negara sana. Bahasa Inggris. Kalian yang hidup di dunia pariwisata sudah menjadi sebuah kewajiban untuk mengenal bahasa ini. Tapi, bagaimana kalau mereka yang kalian temui tidak mengerti dengan bahasa international itu, sementara kalian mungkin hanya tahu satu bahasa itu. Bingung, mungkin itulah yang akan terjadi pada kalian saat itu. Begitupula yang baru saja saya alami hari kemarin.

Sepasang remaja dari Negeri Sakura, membuka pintu kaca itu dan mendekati meja saya. “Good Morning, how are you today Sir/Mam? How may help you” sepasang remaja tadi hanya tersenyum menanggapi salam saya sambil manggut-manggut. Saya persilakan mereka duduk sambil melihat-melihat buku menu yang tersedia di atas meja. Mereka tampak membaca dengan penuh seriusnya. Saya meragukan kalau mereka benar-benar paham dengan isinya. Mereka menoleh ke saya, saya dekati mejanya. Salah satu dari mereka menunjukkan pilihan mereka. Kebetulan saat itu masih dalam keadaan fully book, jadi baru akan bisa menerima tamu baru dua jam kedepan. Saya jelaskan ke mereka bagaimana adanya dalam Bahasa Inggris, karena bahasa ini satu-satunya yang mampu saya pahami sejauh ini. Hanya “ah, uh” yang keluar dari mulut mereka setelah mendengar penjelasan dari saya sambil toleh kanan, toleh kiri. Mereka tidak mengerti maksud saya. Saya ulangi lagi penjelasan saya yang tadi tapi kaliini menggunakan Bahasa Indonesia, karena sebagian besar dari mereka biasanya lebih mengerti Bahasa Indonesia dibandikan dengan Bahasa Inggris. Mereka ternyata adalah pengecualiannya, masih belum mengerti juga. Bahasa terakhir yang bisa dipakai adalah bahasa tubuh, saya gerak-gerakan tangan saya sebagai isyarat “sekarang belum bisa”. Saya ambil sebuah jam di atas meja, sambil menunjukan sebuah angka didalamnya. Berharap mereka mengerti, kalau mereka baru bisa masuk pas jam itu.”Hmm..” sambil manggut-manggut, masih tampak rawut wajah kebingungan itu. Pernahkah kalian membayangkan bagaimana Si Buta dan Si Tuli bila bertemu dan saling berbicara. Maka begitulah situasi saya saat itu.

Sebenarnya sejak saya mulai duduk dibangku SMK, saat itu saya bersekolah di sebuah Sekolah Kejuruan Teknologi Informasi. Sejak saat itu, saya sudah mulai diajarkan dan belajar Bahasa Jepang. Menurut teman sekelas saya, bahkan orang-orang sebagian besar berpendapat bahwa mempelajari Bahasa Jepang jauh lebih mudah dibandingkan Bahasa Inggris. Apa kalian juga berpendapat seperti itu? Tetapi saya adalah salah satu dari sebagian kecil yang tidak berpendapat demikian. Bahasa Jepang jauh lebih sulit bagi saya, walaupun cara pengucapannya mudah tinggal membaca sesuai apa yang tertulis. Namun pelajaran satu ini sangat sulit diterima oleh otak saya, tidak semudah memahami Bahasa Inggris. Mungkin karena Bahasa Inggris sudah saya kenal jauh lebih dulu, semenjak saya masih duduk dibangku SD. Saking tidak mengertinya, saya malah jadi membenci pelajaran satu itu. Sebelum berangkat sekolah saya sudah berdoa dari rumah, supaya Ibu guru yang mengajar tidak akan datang.

Kini ulangan semesterpun tiba, selembar kertas soal dan selembar kertas jawaban beserta alat tulisnya memenuhi meja saya. Bahasa Jepang. Waktu 120 menit. 50 soal memilih (a,b,c,d), 10 soal essay, dijumlah menjadi 60 soal. Hanya punya waktu 2 menit untuk masing-masing soal. Saya membaca lembaran soal dengan seksama, soal pertama saya kurang mengerti, lewati. Lanjut ke soal nomor dua, masih belum mengerti, lewati. Lanjut lagi ke soal nomor tiga, hingga soal ke enampuluh pun sudah selesai saya baca, tapi lembaran kertas jawabanya masih kosonghanya bertuliskan nama. Saya tidak mengerti satupun dari soal-soal itu. Waktu hampir mendekati batasannya. Tangan kanan saya memegangi kepala, gantian ke tangan kiri. Pensil digenggaman saya memukul-mukul kepala saya, kelihat seperti orang pintar yang sedang berpikir keras. Berpikir keras bagaimana caranya mendapatkan jawaban. Saya ambil penghapus balok disebelah kanan saya, untung bentuknya balok. Saya tulisi satu sisinya dengan huruf “A”, kemudian “B”, “C”, “D” disisi yang lainnya. Saya kembali ke soal pertama, saya lemparkan penghapus balok tadi . Huruf “D” yang menghadap ke atas, aku hitamkan lingkaran huruf D di lembaran kertas jawaban. Ulangi lagi sampai soal ke limapuluh. Pakai trik untung rugi, UNTUNG ataukah RUGI saya nanti?. Beranjak ke soal essay, sekarang hantu-hantu bingung memenuhi kepala saya. Tidak mungkin menerapkan trik untung rugi untuk soal ini. Mata saya melirik ke kanan, kiri, menoleh kebelakang sambil mengedip-ngedipkan mata. “teman, bagi jawabannya.”

Sampai lulus dari bangku SMK dan bekerja di sebuah perusahaan swasta yang bergerak dibidang pariwisata. Bahasa Jepang ini masih saja mengahantui hidup saya. Saya yangdulunya sempat berpikir, bermodalkan Bahasa Inggris sudah cukup yang pada kenyataannya Bahasa-Bahasa yang lainnya perlu diketahui. Seperti halnya ditempat saya bekerja, bisa berbahasa Jepang adalah sebuah nilai plus. Apalagi sebagian besar pengunjung yang datang berasal dari Negeri Sakura. Setiap kali saya harus membuka contekan sebelum berbicara dengan mereka, bahkan suatu hari saya sempat menelpon kebagian HRD dulu untuk menanyakan Bahasa Jepangnya “ini” apa, sebelum akhirnya saya kembali melayani mereka. Sungguh memalukan rasanya.

Pemilik perusahaan mungkin menyadari keterbatasan karyawanya dalam berkomunikasi dengan mereka yang dari Negeri Sakura itu. Perusahaan mengadakan kursus gratis, yang wajib diikuti semua karyawan. Yang diajarkanpun lebih mengkhusus, tidak seumum pelajara di sekolah dulu. Berikut beberapa hal yang diajarkan pada pertemuan pertama yang masih melekat dalam otak saya;


-Ohayo Gosaimasu (Selamat pagi)

-Konnichiwa (Selamat siang)

-Konbanwa (Selamat malam)

-O genki desuka?(Apa kabar?)

-Irrasshaimase(Selamat datang)

-Dozo okake kudasai(Silakan duduk)

-Dozo onomi kudasai(Silakan diminum)

Bersyukur sekarang otak saya sudah mampu menerima Bahasa Negeri Sakura ini, yang dulunya sempat ditolak mentah-mentah. Setidaknya sudah ada kemajuan. :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun