Beberapa waktu belakangan publik tanah air dihebohkan dengan polemik rencana pembentukan pasukan siber (cyber army) oleh sebuah LSM keagaamaan di ibukota. Tak berhenti di situ, sempat disebut oleh salah satu pimpinan LSM bersangkutan jika tujuan pembentukan pasukan siber adalah dalam rangka membela ulama dan gubernur di ibukota.Â
Reaksi publik beragam, namun secara garis besar terpecah ke dalam dua kubu. Mereka yang mendukung pembuatan pasukan siber dan mereka yang menolak. Keduanya mengajukan argumen dan pembenarannya masing-masing. Tentunya juga, keduanya ngotot dengan posisinya sendiri-sendiri.
Nah, hari ini muncul berita tentang nama yang akan disematkan untuk pasukan siber yang tengah digodok pembentukannya tersebut. Disebutlah nama Mujahid Digital.Â
Saya tidak akan ikut berpolemik soal pembentukan pasukan siber oleh LSM keagamaan ini. Tak pula akan ikut berdebat soal kepentingan siapa di baliknya, konstelasi politik pihak-pihak yang mendanai dan atau menjalankannya, atau proyeksi kepentingan politis ke depannya. Biarkan itu semua jadi bahasan para analis politik tanah air lain.
Saya akan fokus membahas soal bagaimana pasukan siber mustinya dibentuk dan dikelola serta perlu tidaknya keberadaan pasukan siber macam ini diketahui keberadaannya oleh publik luas.
Secara logis, pasukan siber--khususnya untuk kepentingan politik--adalah pasukan tersembunyi. Mengapa? Pertama karena nature pekerjaannya di dunia digital mengasumsikan anonimitas sebagai sebuah prasyarat penting. Kepentingan politik kelompok sendiri atau klien yang dilayani.
Kedua, karena umumnya pasukan siber berurusan dengan isu-isu sensitif, bekerja dengan semangat ofensif, serta berhadapan dengan pertarungan kepentingan yang keras dan masif, maka keberadaan tim siber itu sendiri, termasuk identitas para anggota dan pengelolanya jadi keniscayaan. Karena jika tidak, mereka amat rawan dihantam balik di dunia nyata.
Ketiga, karena di dunia siber, identitas digital yang dibentuk dan coba dikomunikasikan tidak musti berkorelasi dan atau sepadan dengan aslinya di dunia nyata. Nah, kalau keberadaan pasukan siber ini tidak disembunyikan lalu ketahuan bahwa sosok-sosok digital yang selama ini garang bersuara di ranah maya ternyata aslinya tidak seberapa, maka kepercayaan publik yang selama ini dibangun dengan susah payah lewat kampanye digital akan luntur atau bahkan ambyar--meminjam istilah Didi Kempot.
Berdasarkan argumen tersebut, rencana pembentukan pasukan siber oleh LSM keagamaan di ibukota di atas sudah gagal sejak awal. Bagaimana tidak, bahkan sebelum berhasil dibentuk, sebelum membuat agenda kerja dan apalagi menjalankan pekerjaan kampanye digitalnya, keberadaannya langsung ketahuan publik. Tak hanya ketahuan, bahkan dengan bangganya dipamerkan ke masyarakat luas.
Pasukan siber menurut saya ibarat pasukan intelijen atau pasukan khusus di militer. Layaknya intelijen atau special ops, keberadaannya tak boleh diketahui banyak orang. Hanya pihak-pihak tertentu saja yang boleh tahu. Sehingga mereka bisa bergerak dalam senyap, mengendap dalam gelap, menyerang tanpa disadari lawan dan menyelesaikan tugas dan agenda dengan gemilang.