Beberapa hari lalu saya bikin polling kecil-kecilan di Twitter. Saya tanya netizen, apakah harga buku di Indonesia mahal atau murah? Lebih dari 3/4nya menyebut harga buku di negeri kita relatif mahal.
Sedikit banyak saya sepakat. Sebagai penikmat sekaligus penulis buku, menurut saya, harga buku di Indonesia kurang terjangkau mayoritas publik. Khususnya untuk buku-buku bermutu baik. Berikut pandangan saya.
Buku standar baru di toko buku macam Gramedia, misal buku komputer atau fiksi, dijual kisaran 50ribuan. Ini untuk memudahkan saja. Mari kita bandingkan dengan UMR Jakarta yang di tahun 2018 berada di 3,6 juta rupiah. Untuk membeli sebuah buku, seorang pekerja bergaji UMR musti menghabiskan 1/72 gaji bulanannya.
Itu tadi kalau kita pakai standar UMR Jakarta yang tertinggi di Indonesia. Bayangkan jika pekerja bersangkutan tinggal dan mencari penghidupan di daerah lain yang UMR-nya jauh lebih rendah. Jika menggunakan perspektif ekonomi sederhana macam ini, wajar kiranya banyak yang menyebut harga buku mahal.
Kita coba bandingkan dengan harga buku di Inggris. Sebuah buku standar serupa di atas dijual di Inggris seharga 10 pound, atau sekitar 180ribu rupiah. Wow, mahal ya? Tunggu dulu, mari cek berapa UMR di negeri Ratu Elizabeth ini.
Di Inggris, pekerja kerah biru, alias pekerja kasar non kantoran umum dibayar berdasar jam kerja. Dan standar per jamnya 7.8 pound untuk pekerja dewasa berusia di atas 25 tahun. Dengan durasi kerja standar 40 jam per minggu, seorang pekerja bisa mengantongi 1,248 pound atau sekitar 22,5 juta rupiah.
Untuk membeli sebuah buku seharga 10, seorang pekerja kasar di Inggris hanya perlu mengeluarkan 1/124 gajinya. Lihat perbandingannya dengan pekerja serupa di Indonesia. Hampir 9 kali lipatnya.
Saya tentu tidak akan mencampuri terlalu jauh kebijakan penerbit dan toko buku saat menjual produknya. Mereka berhak menetapkan harga berapapun dus berharap menangguk untung sebanyak apapun.Â
Karena apa? Karena yang dapat untung paling besar dari bisnis buku adalah penerbit, distributor dan jaringan toko buku. Yang biasanya berada di bawah payung konglomerasi sama. Kami penulis hanya dapat 10% saja, itu pun masih dipotong pajak pemerintah.
Hanya, saya melihat ada benang merah antara kepentingan bisnis konglomerasi bisnis buku---yang jumlahnya sedikit dan isinya kelompok itu-itu saja---dengan minimnya literasi publik tanah air. Tentunya mereka tak bisa seratus persen disalahkan, namun kontribusi mereka cukup signifikan dalam membatasi akses publik terhadap informasi dan pengetahuan di buku-buku yang harganya tak cukup terjangkau tadi.
So, apa moral lesson-nya? Kita musti menggalakkan perpustakaan umum. Di mana buku-buku bisa diakses publik secara bebas dan gratis.Â