Mohon tunggu...
Hasto Suprayogo
Hasto Suprayogo Mohon Tunggu... Konsultan - Hasto Suprayogo

Indonesian creative designer & digital marketing consultant | astayoga@gmail.com | http://www.hastosuprayogo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Agama Adalah "Ageman"

7 April 2018   18:42 Diperbarui: 7 April 2018   18:59 1572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada satu ungkapan yang amat familier bagi kami masyarakat Jawa. Agama adalah ageman. Yang arti literalnya agama adalah pakaian. Pakaian bagi siapa? Tentunya pakaian bagi manusia penganutnya.

Apakah pakaian itu? Pakaian, atau sandang, dalam konteks agama, tentunya bukan pakaian layaknya obyek fisik yang kita kenakan sehari-hari. Namun, agama sebagai ageman adalah simbolisme akan fungsinya yang sedikit banyak serupa dengan pakaian dalam kehidupan keseharian.

Pakaian adalah pelindung tubuh. Pakaian adalah penanda kelas dan status sosial. Pakaian adalah ekspresi martabat seseorang. Pakaian adalah cerminan citra diri kita sebagai manusia.

Karenanya, sebagaimana dipaparkan Prof Komaruddin Hidayat dalam sebuah opininya di Kompas, agama sebagai ageman musti direfleksikan secara nyata dalam akhlak, perilaku dan tingkah perbuatan keseharian pemakainya. 

Etika, budi pekerti, atau akhlak selalu relasional. Artinya, nilai kebaikan atau kejahatan terjadi dalam konteks sosial. Jika rajin menegakkan shalat, puasa, dan haji, tetapi masih menipu dan menyakiti orang lain, kualitas keberagamaannya diragukan. Demikian tulis mantan rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tersebut.

Nah, belakangan kita mahfum dengan maraknya politik identitas berbasis agama di tanah air. Dan menariknya, simbolisme agama yang diusung salah satunya diwujudkan secara visual lewat atribut pakaian tertentu. 

Logika para pemakainya adalah, pakaian tersebut akan menegaskan keberagamaan mereka. Sekaligus menegasikan kelompok tersebut dengan yang lain, baik yang seagama namun bergenre pakaian beda, apalagi yang beda agama.

Namun sayang beribu sayang, banyak kontradiksi antara pesan yang diniatkan tadi, dengan ahlak dan perilaku--baik ucapan, tindakan maupun perbuatan--sebagian dari mereka. Yang alih-alih menampilkan kesantunan, ketinggian ilmu, kedalaman moral dan ketenangan batin, justru sebaliknya.

Kepongahan, kemarahan, caci maki, ancaman, pengkafiran, persekusi dan lain sebagainya adalah ekspresi nan jamak terlihat. Ada kontradiksi di sini. Agama dengan ketinggian moralitasnya berhenti mewujud hanya di tataran fisik pakaian semata, namun tak mampu mendarahdaging, mengendap dalam jiwa dan mewujud dalam aksi nyata.

Mungkin kita perlu kembali merenungkan wejangan Kanjeng Nabi, ketika berwasiat bahwa Gusti Allah tidak mengutus beliau kecuali untuk menyempurnakan akhlak manusia. Artinya menjadi beragama tak cukup hanya mengenakan pakaian 'agama' secara fisik semata, namun juga mengejawantahkan nilai-nilai moral nan adiluhung darinya dalam jiwa, pikir, ucapan, laku dan tindakan. 

Sehingga keberadaan kita yang pendek di dunia ini bisa sedikit menjadi berkah bagi sesama dan lebih-lebih alam semesta. Selamat malam, selamat berakhir pekan. Jangan lupa, luangkan waktu sejenak untuk berkaca dan tanyakan, sudahkah kita memantaskan agama yang kita kenakan sebagai ageman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun