Mohon tunggu...
Hasto Suprayogo
Hasto Suprayogo Mohon Tunggu... Konsultan - Hasto Suprayogo

Indonesian creative designer & digital marketing consultant | astayoga@gmail.com | http://www.hastosuprayogo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Ingroup Love dan Outgroup Hate"

18 Maret 2018   19:30 Diperbarui: 18 Maret 2018   19:53 544
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Yang satu teriak kecebong, lainnya teriak onta. Yang satu nuduh bid'ah, yang lain nyebut kaum cingkrang. Yang satu mencap kafir, yang lain membalas intoleran. 

Jika Anda menggunakan social media, kemungkinan besar Anda familiar dengan istilah-istilah di atas. Itu hanya sebagian kecil dari masifnya labelisasi antarkelompok yang bertentangan. Yang belakangan marak dan nampaknya bakal tambah marak di tanah air.

Ketika kelompok kepentingan berbeda saling berhadapan, percikan konflik tak bisa dihindari. Saling tuduh, saling serang, saling menyalahkan jadi keniscayaan. Terkadang, akumulasi kebencian ini meletus jadi ucapan kebencian, tulisan kebohongan bahkan aksi fisik berupa persekusi dan penganiayaan.

Marilynn B. Brewer, seorang piskolog dari Ohio State University, memperkenalkan istilah 'Ingroup Love & Outgroup Hate'. Di mana kelompok manusia punya tendesi kecintaan berlebih pada kelompoknya sendiri, dan di saat bersamaan kebencian terhadap kelompok lain.

Jika pada awalnya kondisi ini dipicu persaingan kepentingan antarkelompok untuk bertahan hidup, di saat sumber daya alam terbatas, karenanya harus diperebutkan demi bertahan hidup, ke sininya persaingan ini berlangsung lebih karena motif non-material; contohnya demi kekuasaan politik.

Adalah wajar manusia punya kecenderungan untuk lebih memilih bersama mereka yang sepandangan, sesuku, sekelompok dan sejenisnya. Dan tak selalu, inklinasi ke mereka yang se-aliran dengan kita membuat kita antipati dengan yang lain. 

Namun sialnya, belakangan banyak politisi yang men-tapping kencenderungan macam ini untuk kepentingan politik sesaatnya. Melahirkan apa yang kita sebut populisme politik. Di mana isu-isu primordial, macam suku, ras, agama dikemas dalam jargon-jargon bombastis yang mengaduk-aduk emosi publik, menafikkan akal sehat dan memungkiri keniscayaan akan adanya perbedaan demi mendulang suara dan dukungan. Dan sialnya lagi, masih banyak yang terjerembab dalam permainan kotor macam ini. 

Sebut saya naif, namun saya masih sedikit percaya pada moralisme politik, di mana kekuasaan bukan tujuan semata, namun musti dijadikan alat untuk mewujudkan idealisme luhung macam keadilan, kebebasan dan kemanusiaan.

Jadi lain kali, saat Anda merasa 'benci' dengan yang lain, tanpa sebab jelas dan masuk akal, mungkin Anda tengah diakali oleh para politisi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun