Mohon tunggu...
Hasto Suprayogo
Hasto Suprayogo Mohon Tunggu... Konsultan - Hasto Suprayogo

Indonesian creative designer & digital marketing consultant | astayoga@gmail.com | http://www.hastosuprayogo.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Hoaks, Realita dan Konstruksi Sosial Kita

21 Februari 2018   01:09 Diperbarui: 21 Februari 2018   02:15 658
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seorang kawan bercerita betapa di banyak grup WA yang diikuti, kenalannya banyak membagi konten hoax. Belakangan, katanya, soal maraknya isu kebangkitan PKI. Buktinya apa? Potongan gambar, foto editan, status dan tulisan yang mengharubiru tentang beberapa 'ulama' yang katanya dianiaya bahkan sampai dibunuh oleh mereka yang disebut sebagai anggota dan simpatisan partai terlarang tersebut.

Tidak, tidak, jangan khawatir. Saya tidak akan ikut-ikutan riuh berdebat soal benar tidaknya isu tersebut. Ada pihak berwenang menanganinya. Polisi dan pemerintah yang lebih reliable mengklarifikasi.

Alih-alih, saya ingin bicara tentang realita. Tentang betapa realita, khususnya belakangan di tanah air kita, menjadi sesuatu yang debatable. Bukan karena tidak ada realita, namun beragamnya yang dianggap sebagai realita.

Contoh di atas, sekelompok pihak menyebut keberadaan PKI dan kebangkitannya adalah realita. Karenanya mereka riuh menyeru publik untuk cancut tali wanda, bersiap, berjaga-jaga, melawan jika perlu. Di sisi lain, sekelompok lain menyebut PKI bangkit kembali adalah ilusi semata, bahkan delusi mungkin. 

Anda bisa tak sepakat dengan saya, namun bisa jadi Anda berada di satu dari kelompok-kelompok ini. Dan jika iya, Anda kemungkinan besar mempercayai narasi yang mereka usung tentangnya.

Bagaimana menjelaskan ragam realita ini?

Well, saya teringat kajian Peter L. Berger dalam bukunya The Social Construction of Reality. Bagaimana realita yang kita pahami dibentuk oleh konstruksi sosial di mana kita berada. 

Di mana keberadaan kita dalam sebuah kelompok sosial, menjadikan kita terpapar nilai, konsep dan representasi mental orang-orang lain yang ada di kelompok tersebut. Lewat interaksi dan dalam jangka waktu tertentu, semua itu merasuk dan membentuk apa yang kita pahami sebagai realita.

Intinya, realita dibentuk oleh lingkungan sosial kita. Dan sialnya, kalau kita kecemplung di lingkungan sosial yang percaya dengan suatu hal, kemungkinan besar, kita pun akan percaya hal itu sebagai realita. Tak peduli seberapa absurdnya. Tak percaya? Tengok sekitar Anda, kemungkinan besar Anda punya kawan yang percaya kalau bumi itu datar atau alien ada di sekitar kita menyamar sebagai manusia biasa.

Anyway, point yang ingin saya sampaikan adalah, karena realita kita dibentuk lingkungan sosial kita, satu-satunya cara memahami mereka yang menyebar hoax dan menolak menerima fakta, bahkan setelah diklarifikasi pihak berwenang, adalah dengan menengok kelompok sosial macam apa dia berada. 

Dari sini kita bisa mengambil pelajaran juga, bahwa benar ujar Nabi ketika mewanti-wanti umatnya untuk berhati-hati dalam memilih kawan bergaul. Berkumpul dengan penjual minyak wangi membuat kita terpapar harum, bergaul dengan penyebar hoax membuat realita kita terdistorsi dan tak mampu membedakan fakta dan ilusi.

So, hati-hatilah memilih lingkungan sosial Anda. Karena ia membentuk realita yang akan Anda percaya. 

 Tabik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun