Sunan Ampel dan Sunan Bonang mengajarkannya lewat rangkaian tembang-tembang Macapat, yang masing-masingnya merepresentasikan fase kehidupan manusia dan apa tujuan hidup seseorang di masing-masing fase  tersebut.
Dari Maskumambang yang bicara tentang janin manusia dalam kandungan, Mijil tentang kelahiran jabang bayi, Kinanthi tentang anak bayi yang dinanti orag tua, Sinom perihal masa kanak-kanak penuh keceriaan, Asmaradana bicara soal hasrat cinta anak muda nan meluap-luap, Gambuh mengenai penyatuan dua insan dalam pernikahan, Dhandanggula bicara tentang suka duka perkawinan, Durma bicara tentang pengabdian manusia bagi masyarakat dan bangsa, Pangkur bicara soal mundur dari persoalan duniawi dan mulai fokus ke spiritualitas, Megatruh mengingatkan akan masa di mana maut mendekat dan ajal hampir terpisah dari raga dan ditutup dengan tembang Pucung di mana ruh terpisah dari raga, meninggalkan dunia dan kembali ke alam keabadian.
Semua itu  adalah pembelajaraan soal waktu dan tentunya soal kehidupan. Hal macam ini, yang kadang terlewatkan, atau bahkan tak disadari dalam kehidupan modern kita yang penuh hingar-bingar keduniaan. Di mana fisik adalah utama, dan pencapaian material jadi prioritas utama. Maka wajar kalau  kita saksikan banyak hal yang tidak semestinya, banyak fungsi terbolak-balik, banyak kekacauan di mana-mana.Â
Waktu adalah anugerah luar biasa, namun juga tetenger alias penanda yang tak kalah mengagumkannya. Ia ada dan akan selalu ada. Namun kita, tak selalu awas dengan keberadaannya.Â
Hingga saat kita sadar, ia sudah di ujung masa dan kita belum melakukan apa-apa. Jadi, kepada siapa kita akan menyalahkan, jika bukan diri sendiri sebabnya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H