Saya tersenyum simpul saat membaca berita Yenny Wahid menolak maju dicalonkan sebagai Gubernur Jawa Timur dari koalisi Partai Gerindra, PAN dan PKS.Â
Ini adalah langkah signifikan tak hanya dari sisi politik, namun juga moral. Putri kedua Gus Dur tersebut menunjukkan kepada publik, dan para politisi, bahwa kekuasaan bukanlah segalanya, dan tak layak diraih dengan segala cara.
Mengapa demikian? Jelas nyata di Pilkada Jawa Timur mendatang sudah ada 2 kandidat calon Gubernur berlatarbelakang NU, serupa dengan Yenny Wahid; Khofifah Indar Parawansa dan Gus Ipul. Keduanya diusung koalisi partai berbeda, namun keduanya menyasar pasar pemilih yang bisa dibilang sama.
Jika Yenny Wahid 'terjebak' turun tanding juga, bisa dibayangkan bagaimana riuhnya kontestasi itu nantinya. Dan tak hanya saat Pilkada saja, pertarungan memperebutkan pengaruh dan pemilih bisa jadi berlanjut paska Pilkada sebagaimana di daerah lain macam Jakarta. Akibat jauhnya apa lagi kalau bukan rusaknya basis massa NU, dan lebih besarnya lagi Indonesia.
Saya salut dengan pilihan Yenny Wahid untuk menolak tawaran sang King Maker. Bagaimana dengan cerdik sekaligus jenaka, Yenny menggunakan alasan tidak mendapat restu para kyai sepuh dalam penolakannya tersebut, serta menambahi sentilan kecil tentang betapa sang King Maker punya visi besar untuk Indonesia ke depannya.
Andai saja lebih banyak tokoh yang punya jiwa legawa macam ini untuk tidak membabi buta mengejar kekuasaan, untuk lebih istiqamah menjalani fungsi dan tanggungjawab yang sudah diamatkan kepadanya, mungkin bangsa ini akan bisa lebih cepat maju berkembang.
Terima kasih atas contoh dan inspirasinya Mbak Yenny. Tetaplah tulus mengabdi untuk bangsa dan bukan hanya untuk kuasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H