Mungkin ini perasaan saya saja, semoga hanya kesalahpahaman saya saja dalam menilai fenomena yang marak belakangan di masyarakat kita, khususnya di media sosial. Di mana, kita, atau sebagian besar kita yang aktif di social media, lebih gemar berdebat dibanding berdiskusi.
Apa bedanya debat dan diskusi? Mungkin Anda bertanya demikian. Dari penelusuran selama ini, saya temukan beberapa hal mendasar yang membedakan keduanya.Â
1. Debat mensyaratkan ada 2 pihak yang bertentangan pendapat akan suatu hal. Perbedaan pandangan ini yang jadi landasan awal keduanya bertemu. Sementara diskusi mensyaratkan 2 pihak untuk berbagi pendapat akan suatu hal. Keduanya tak harus bertentangan dan tak musti saling mempertentangkan diri.
 2. Debat bertujuan mempertahankan pandangan sendiri dan mengalahkan pihak lain yang bertentangan. Menyerang lawan, menghindari serangan balik dan menepis argumen lawan adalah kewajaran--bahkan keharusan. Sementara diskusi bertujuan mendapatkan titik temu. Untuk bisa sampai pada titik temu dibutuhkan keterbukaan pandangan. Open minded adalah semangat yang mendasari.
3. Debat lebih untuk kepentingan kelompok pendukung, lebih menjadi tontonan, lebih menjadi selebrasi semu penegasan ilusi keunggulan kelompok. Karenanya, klaim kemenangan satu pihak adalah pengakuan sepihak yang seringkali tanpa dasar, hanya rasa semata. Ibarat onani, dilakukan sendiri, dinikmati sendiri.Â
Sementara diskusi dilakukan untuk kepentingan semua pihak yang terlibat dalam diskusi tadi. Semua pihak mendapatkan informasi, masukan, pandangan baru yang bisa jadi berbeda bahkan bertentangan dengan prekonsepsi yang dimilikinya. Namun pada akhirnya memperkaya cakrawala pandangnya sendiri.
Banyak dari kita, di social media, keras bersuara. Banyak dari kita lantang menyerang. Banyak dari kita ngotot bermonolog. Banyak dari kita beranggapan tengah memperjuangkan kebenaran. Banyak dari kita merasa berjihad melawan yang sesat. Banyak dari kita berperang demi membuat Tuhan senang.
Namun sebanyak itu pula kita lupa kalau terus menerus bersuara tak ada guna jika tak diimbangi dengan kesediaan untuk mendengarkan suara yang beda. Gencar menyerang tak akan merubah pandangan jika masih menganggap orang lain sebagai lawan. Pandai merangkai monolog tak akan mencerahkan jika tak dilanjutkan dengan dialog.
Meski saya menulis dengan kata ganti 'kita', sebenarnya sentilan ini lebih saya buat untuk diri sendiri. Saya mungkin terlalu gemar berdebat dan malas berdiskusi. Semoga Anda semua yang tak sengaja membaca tulisan ini bisa mengambil sedikit pembelajaran dari kekeliruan saya tersebut.
Mari membuka diri dan pikiran akan ragam tafsir kebenaran di luar sana, bahkan jika ia datang dari mereka yang selama ini kita pandang sebagai lawan.
 Tabik