Malam ini saya sedikit mellow. Mungkin karena cuaca. Hawa dingin bulan November menusuk tulang, membawa perasaan rawan. Mungkin pula karena penjelajahan linimasa social media membawa saya memandangi kolase foto-foto kota kelahiran; Semarang.
Tumbuh dan besar di Semarang, membuat saya punya ikatan batin dengan kota pesisir ini. Meski bukan kota paling cantik di Indonesia, bukan kota paling nyaman juga, namun ia menempati ruang istimewa di hati saya.
Satu yang paling saya rindukan dari Semarang adalah makanannya. Beberapa hidangan menempati posisi istimewa dalam katalog kuliner saya.
Mangutan adalah yang pertama dan utama. Hidangan ikan pari asap berkuah santan pedas ini dulu selalu jadi pilihan setiap saya pulang. Ya, selama bekerja di Jakarta, di kala pulang di akhir pekan, kuliner ini yang senantiasa saya rindukan.
Ia teristimewa karena ingatan. Adalah almarhum Bapak saya yang mengenalkan makanan ini di salah satu penjelajahan kuliner kami saat saya mungkin baru berumur 7 tahunan. Hingga sekarang, setiap menyantap hidangan tadi, saya merasa bisa menghadirkan kembali momen itu.Â
Jika ada yang bilang, selera kita adalah warisan orang-orang sekitar tempat kita tumbuh, saya sepakat. Laiknya warisan, selera bagi saya adalah mekanisme bawah sadar untuk mengenang orang-orang istimewa tersebut. Dalam kasus di atas, adalah Bapak saya yang telah tiada.Â
Ada pula yang menyebut makanan adalah identitas budaya. Manusia membedakan diri dengan yang lain lewat apa yang dimakannya. Ini pun saya sepakati. Seberapapun saya bisa mengapresiasi kelezatan masakan Minang, namun ia tak bisa dan tak akan pernah menggeser posisi kuliner Jawa Semarangan.
Tahukah Anda? Saat berada jauh di negeri orang seperti yang saya jalani sekarang, homesick terberat bukanlah soal tak bisa bertemu dengan semua kawan atau keluarga---karena thanks to technology macam video call silaturahmi tetap lancar. Namun, soal rindu makanan ini yang belum ada inovasi teknologi yang bisa mengatasinya.
Ah, sudahlah. Anggap ini ceracau di tengah malam karena dingin dan perut keroncongan. Nampaknya saya musti turun ke dapur, menengok stok Indomie yang baru saja diisi ulang.Â
Ibarat pepatah lama, tak ada rotan akarpun jadi. Tak ada mangutan, Indomie pun jadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H