Mohon tunggu...
Hasto Suprayogo
Hasto Suprayogo Mohon Tunggu... Konsultan - Hasto Suprayogo

Indonesian creative designer & digital marketing consultant | astayoga@gmail.com | http://www.hastosuprayogo.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Penghayat Kepercayaan dan Pengakuan Hak Anak Bangsa

14 November 2017   01:42 Diperbarui: 14 November 2017   09:37 767
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penghayat Kepercayaan | news.metrotvnews.com

Selasa, 7 Oktober 2017 kemarin jadi momen bersejarah bagi sebagian saudara kita, para penghayat kepercayaan. Karena Mahkamah Konstitusi, lewat amar putusan yang dibacakan Ketua MK Arief Hidayat, menegaskan hak mereka untuk mencantumkan aliran kepercayaannya di KTP & KK.

"Negara harus menjamin setiap penghayat kepercayaan dapat mengisi kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK)," tegas Hakim Arief.

Sebuah keputusan legal final dan mengikat, yang mengakhiri puluhan tahun polemik yang dihadapi sebagian anak bangsa ini, juga pemerintah dan negara. Sebuah momen bersejarah dalam perjalanan berkehidupan dan beragama di bumi Indonesia.

Saya melihat arti penting dari putusan MK ini bukan hanya untuk saudara-saudara kita penghayat kepercayaan, seperti penganut ajaran Sunda Wiwitan, Ugamo Bangso Batak, Bonokeling atau Aluk di Toraja, namun juga kita semua bangsa Indonesia. Karena lewat momen ini, sebuah preseden positif ditegaskan bahwa negara ini mengakui dan menjamin hak setiap anak bangsa untuk bebas mengikuti, beribadah dan berkehidupan sesuai panduan ajaran agama dan kepercayaan yang dipilihnya.

Tak semestinya ada lagi rasa 'terpaksa' memilih satu dari 'hanya' enam agama resmi di Indonesia. Tak harus ada kekhawatiran untuk mereka yang menemukan religiusitasnya di luar ajaran-ajaran agama mainstream. Tak musti ada kekangan menjadi sama dengan yang lain di hal yang semendasar naluri berketuhanan.

Meski amar putusan MK sudah dikeluarkan, bukan berarti pekerjaan rumah kita berhenti. Karena pemerintah, negara dan masyarakat masih harus bekerja keras mengimplementasikannya. Yang menurut hemat saya, jauh lebih berat ke depannya.

Aturan perundang-undangan musti direvisi, khususnya terkait UU tentang Administrasi Kependudukan, Undang-Undang Perkawinan. Belum lagi di tataran teknis lapangan, prosedural pengurusan dan pengisian data KTP dan KK musti disesuaikan. Masih ada pula di bidang pendidikan, terkait dengan pembelajaran agama untuk anak didik yang merupakan penghayat kepercayaan musti disiapkan infrastruktur, materi, pembimbing dan lain sebagainya.

Sementara, di sisi sosial kemasyarakatan, kita musti bersama-sama menepis syak wasangka serta tindakan diskriminatif terhadap mereka. Kita musti kembali menemukan dan mewujudkan semangat toleransi dan tepa selira yang merupakan nilai luhur warisan nenek moyang bangsa kita. Menjadi berbeda adalah hal biasa, adalah kelumrahan, adalah keniscayaan. Dengan pemahaman semacam itu, kehidupan bermasyarakat akan lebih tenteram.

Meski sekilas nampak repot, namun demikianlah adanya dan semestinya disiapkan negara. Karena negara dan pemerintah ada dan melayani tak hanya mereka yang besar, mereka yang mayoritas, mereka yang mainstream, namun juga mereka yang sedikit, kecil dan selama ini terpinggirkan.

Semua karena komitmen dan cita-cita bersama kita semua yang menyebut diri bangsa Indonesia. Cita-cita luhur hidup bersama dalam payung negara kesatuan, berlandaskan Pancasila dan bersemangat Bhinneka Tunggal Ika.

Selamat untuk saudaraku semua penghayat kepercayaan. Ayo bersama kita bangun Indonesia yang lebih baik ke depannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun