Mengampanyekan tujuan International Women's Day sebagai budaya di tengah kaum perempuan dan masyarakat pada umumnya. Masih ada saja kejadian di lingkungan kerja dan di lingkungan sosial, Â prestasi perempuan tidak mendapat tempat yang layak. Andaipun dihargai dan diapresiasi, biasanya adalah perempuan yang berada di status sosial dan ekonomi mapan di lingkungan tersebut. Di luar lingkungannya, perempuan berprestasi masih berpotensi dimarginalkan, anehnya pelakunya bisa dari kaumnya sendiri, sesama perempuan.
"Gayanya sudah diangkat jadi manajer, bicaranya beda..". Atau hanya pandangan sinis seolah melempar kesan " Apapun prestasimu, kau tetap tak bisa membuat kami bangga".
Tak dipungkiri ungkapan dan perilaku seperti ini membuat perempuan yang punya potensi sukses menjadi insecure, rasa tak nyaman. Perasaan ini sedikit banyak mempengaruhi produktivitas kerjanya di waktu berikutnya. Kalau sudah begini, apa makna perjuangan perempuan yang ingin kaumnya maju, berdaya, dan diperlakukan adil? Penyelenggaraan workshop, seminar, aksi turun jalan bertajuk memperjuangkan kepentingan perempuan serasa tak berdampak besar di kehidupan sehari-hari.
Perempuan yang memiliki prestasi baik dalam aktivitas hidupnya di dunia kerja dan atau di lingkungan sosialnya terkadang masih kalah dalam menyedot perhatian pegiat pejuang perempuan yang notabene mayoritas perempuan juga. Pejuang perempuan lebih sering memfokuskan perjuangannya kepada perempuan korban pelecehan seksual.Â
Ada pula perjuangan atas marginalisasi secara ekonomi ( honor kerja, cuti kerja yang tidak manusiawi), dan diperlakukan tidak adil di hadapan hukum. Termarjinalkan dalam bidang politik atas aturan yang tidak mengakomodasi fitrah perempuan tak ketinggalan pula. Semua membuat pejuang perempuan geram, risih, hingga akhirnya ada aksi, pertemuan untuk mendapatkan penyelesaian yang proporsional.
Di sisi lain, perempuan berprestasi, punya modal uang, punya skill tertentu yang menyokong keberdayaannya masih ada yang terperangkap dalam kedzaliman. Pelaku kedzaliman pun bisa juga dari kaumnya sendiri. Ini rupanya masih alpa dari perhatian para pejuang perempuan itu sendiri.
Lihatlah, di dunia kerja perempuan yang memiliki kinerja bagus tak jarang menerima perundungan. Lebih memprihatinkan, pelakunya juga dari sesama perempuan. Karena faktor iri tak memiliki jabatan yang sejajar, para perempuan pekerja ramai-ramai mengkotak perempuan berprestasi ini agar jauh dari lingkungan pergaulan di tempat kerja.
Di organisasi kemasyarakatan juga demikian. Budaya mengorek sisi negatif perempuan yang berprestasi lebih dulu muncul ketimbang budaya melindunginya atau menutupi dengan cara lebih semangat membicarakan capaian baiknya.
 Anak-anak perempuan di sekolah menengah pun tak jarang kurang ramah dengan sesamanya cuma karena hal sepele yang tidak bisa disikapi dengan bijak. Tidak mau bekerjasama dalam menyelesaikan tugas karena taat aturan guru, bisa menjadi sebab bullying yang menyebabkan anak perempuan berprestasi ini merasa tak nyaman dan tak aman.Â
Perempuan pekerja, perempuan berprestasi di manapun berada, dan anak perempuan berprestasi di sekolah jika dibiarkan mengalami perundungan karena dianggap kewajaran dalam interaksi sosial, tak menutup kemungkinan menjadi kendala terwujudnya tujuan peringatan International Women's Day. Ini bisa diasumsikan bahwa perayaan peringatan International Women's Day hanya sebatas mimpi yang tertulis belum menjadi budaya di tengah para perempuan itu sendiri apalagi masyarakat dunia pada umumnya.