Mohon tunggu...
Astadi Pangarso
Astadi Pangarso Mohon Tunggu... Dosen -

Beloved, wellpleased... an enthusiast theorizer

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Respon terhadap Budaya Organisasi Kolektif Feminin

15 Agustus 2017   20:36 Diperbarui: 15 Agustus 2017   21:53 993
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Hatch, M. J., & Cunliffe, A. L. (2012). Organization theory: modern, symbolic and postmodern perspectives. Oxford university press.

Ini adalah tulisan pertama saya...saya terinspirasi untuk menulis hari ini di kompasiana karena ada hal menarik yang akan saya bahas secara cukup singkat.

Awalnya kemarin saya menemukan sebuah literatur dalam bentuk buku tentang teori organisasi terkait dengan studi doktoral yang sedang saya jalani. Bukunya adalah "Organization theory: modern, symbolic and postmodern perspectives". Buku ini setelah saya baca cukup menjelaskan tentang teori organisasi yang tersusun rapi dan mudah untuk dibaca serta diikuti aliran pemikirannya.

Gambar diatas diambil dari buku tersebut yang menunjukkan tentang posisi beberapa negara yang dipetakan menurut teori budaya organisasi (Hofstede, pakar budaya organisasi) dengan sudut pandang kolektif-individu dan feminin-maskulin. Kolektif-individu dapat didefinisikan sebagai suatu sudut pandang dari segi 'keguyuban' atau kebersamaan dalam suatu entitas. Dimana jika kolektif maka ada kecenderungan untuk 'bergerombol' sedangkan jika individu cenderung 'masing-masing'. Sedangkan feminin-maskulin dapat didefinisikan sebagai sifat dasar yang umum dan lazim yang membedakan antara perempuan dan laki-laki.

Bangsa,negara kita Indonesia ternyata masuk kategori kuadran Kolektif-Feminisme mungkin jika dibahasakan dalam sesuatu yang sederhana adalah kumpulan orang-orang yang bersifat cenderung seperti para wanita (perempuan). Nah dari sini menarik untuk saya kaitkan dengan beberapa pengalaman pribadi maupun pengamatan saya terhadap berbagai fenomena yang ada (termasuk didalamnya politik).

Dari lagu yang saya ketahui disebutkan ada kata "ibu pertiwi", disini menarik karena kenapa yang dipilih ibu bukan bapak? Dari lagu lain ditemukan kalimat syair "dibuai dibesarkan bunda". Dua kata dan kalimat syair lagu ini jika dikaitkan dengan budaya feminim maka jelas berhubungan, yaitu ibu adalah feminim. Lagu juga termasuk bentuk manifestasi budaya.

Sifat feminin jika dikaitkan dengan konflik maka menurut pengalaman pribadi saya antara lain: cenderung suka bergosip, jika marah cenderung lama redanya, sensitif (peka), emosionil atau mungkin jika menggunakan bahasa jaman sekarang boleh dirangkum dan dikatakan "baper". Sifat kebaperan feminim ini sebaiknya perlu dikendalikan dengan pikiran tenang dan jernih agar tidak menimbulkan dampak yang kurang baik.

Sifat baper ini mungkin jika dikaitkan dengan gaya kepemimpinan akan cenderung menyukai gaya karismatik, simbolik, normatif yang mungkin bisa dikatakan dekat dengan istilah pencitraan. Sehingga bisa juga dikaitkan dengan pendekatan pemimpin yang cenderung mengasuh (nurture), ngemong bagai seorang ibu kepada anaknya.

Budaya negara maju (amerika serikat salah satunya) masuk pada kategori yang berbeda 180 derajat dengan Indonesia. Mereka memiliki budaya yang Individual-Maskulin. Budaya akan sangat sulit untuk dirubah karena telah terbentuk sedemikian lama yang membutuhkan juga sumber daya dan waktu yang lama untuk merubahnya. Dari penjelasan singkat ini maka budaya bangsa Indonesia yang masuk kategori kolektif feminim dapat diresponi dengan tepat akan membawa banyak kebaikan dengan meresponinya dengan benar. 

Penyesuaian diri terhadap budaya kolektif feminim dapat dilakukan dengan memahami terlebih dahulu apa yang disukai oleh para feminin. Setelah itu kolektif artinya dapat dikatakan sekumpulan perempuan yang banyak. Budaya kolektif ada kecenderungan untuk ikut-ikutan. Dalam suatu entitas kolektif ada beberapa orang yang berperan sebagai influencer (pemberi pengaruh). Yang menarik adalah jika berhasil untuk mempengaruhi para influencer melalui pencitraan ini maka akan lebih mudah diterima bahkan lebih jauh dapat 'menggerakkan' dan memimpin,mengontrol entitas tersebut. Pendekatan secara informal juga mungkin akan lebih tepat digunakan di budaya kolektif-feminin. 

Sebagai tambahan bagian penting juga dalam hal komunikasi patut mendapat perhatian khusus, karena gaya feminin cenderung tepat menggunakan storytell tidak bisa to the point dan harus diawali dengan adanya perhatian untuk mau mendengar. Sebagai contoh kenapa jika melihat kasus penistaan agama kemarin mungkin dapat diambil lesson learned gaya komunikasi pak Ahok yang kurang pas (terlalu to the point) dan kurang 'mengemong' (bagaikan ibu kepada anaknya) sehingga memungkinkan adanya konflik yang cukup besar. 

Nah, yang menjadi bagian penting disini yng bisa diambil adalah kemauan dan kemampuan untuk mendengar (dengan empati) para influencer sehingga dapat diterima oleh lingkungan dan bahkan dapat memimpin, mengontrol. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun