Tanggal 9 April 2014 adalah waktu dimana Sejaran Indonesia akan berawal, harapan-harapan untuk lebih baik dari pemerintahan sebelumnya sudah menjadi impian banyak masyarakat Indonesia, hidup tenang dan tentram serta lapangan pekerjaan terhampar luas di seluruh penjuru negeri, merupakan harapan yang selama menjadi harapan kita semua, terlebih kepada pemimpin yang akan terpilih nantinya.
Ditengah hiruk pikuk pesta demokrasi di Indonesia terdapat jauh dipelosok desa masyarakat yang hidup dengan ekonomi yang pas-pasan yang selalu membuat mereka memutar otak untuk bisa mensiasati terpenuhnya keuangan rumah tangganya, kebutuhan makan untuk keluarga dalam kesehariannya tidak sepenuhnya dapat mereka penuhi, makan sering hanya sekali dalam sehari, terkadang memakan nasi kemaren yang sudah basi bukan hal yang jarang mereka lakukan, inilah potret nyata masyarakat Indonesia yang hidup dalam ketidak cukupan di negeri yang katanya sebagai negara kaya dan makmur.
Bukanlah menjadi rahasia lagi jika kemiskinan sering di jadikan kesempatan para politisi busuk untuk meraih kesuksesannya diatas kesengsaraan rakyat miskin Indonesia. Politisi busuk akan selalu melakukan apa saja demi untuk memenuhi ambisi kekuasaannya – kebalikan orang miskin di negeri ini yang akan melakukan apa saja demi untuk mendapatkan sesuap nasi – politisi hanya akan selalu terfokus untuk memenangkan pemilihan didapilnya, tidak segan-segan mereka juga berkomplot dengan para preman bayaran lokal yang tidak segan-segan memobilisasi masa untuk menggiring suara dan sekaligus mengawalnya sampai ke tinggat kecamatan, kelihaian para preman-preman lokal ini sudah terlatih dan professional, karna keahlian para preman ini tidak hanya hebat pada saat pemilu legislatif saja, tetapi mereka juga sudah sangat terampil dan profesional dalam pemilihan kepala desa, jalur koordinasi yang sudah terbentuk inilah yang menjadikan mereka mudah menargetkan jatah suara caleg dari tinggat daerah sampai dengan provinsi dan pusat.
Operasional para preman-preman lokal ini sudah tidak melakukan serang fajar, istilah “Disini Menerima Serangan Fajar” itu sudah using dan nominalnya juga kecil, dan lagi ngetren saat adalah metode mereka langsung door to door melakukan tawar menawar setiap satu suara dalam satu keluarga, tidak heran jika persuara bisa bernilai 50 sampai dengan 350 ribu persuara, inilah yang mereka lakukan pada saat pemilihan kepala desa, adapun saat pemilihan calon legislatif modusnya agak longgar sedikit, karna minimnya pengawasan para preman ini menggunakan kartu suara dangan data ‘fiktif’ data-data fiktif ini bisa dari data yang ganda atau yang bersangkutan tidak ada di tempat alias sedang kerja jadi TKI keluar negeri, kelemahan inilah yang mereka gunakan untuk mencuri suara di setiap TPS-TPS, jadi jangan heran jika pada saat pemilu sekarang ini merupakan lading penghasilan buat para preman-preman lokal yang ada di pelosok pedesaan, mereka tidak hanya berjuang memenangkan suara dari Caleg DPRD tetapi mereka juga punya job dari Caleg DPR Provinsi dan Caleg DPR-RI, kata pepatah Sekali dayung 3 Suara Caleg Akan Terlampui”
Yang unik jika kita telusuri hal ini ke pelosok pedesaan maka disana akan dapat kita temui dari anggapan masyarakat pedesaan bahwa para caleg-caleg ini mereka anggap sebagai serang warga Indonesia yang sedang mencari pekerjaan, mereka tidak menganggap para caleg ini sebagai wakil mereka di parlemen sehing menerut penilain mereka, sangat wajar jika mereka meminta impalan atau menjual suara mereka, inilah kenapa jual beli suara masih banyak terdapat kita jumpai di tengah-tengah masyarakat kita, dan masyarakat pedesaan tidak mengenal kata golput, karna bagi mereka golput merupakan kerugian pendapatan bagi mereka, karna bagaimanapun jika mereka golput mereka sadar jika suara golput mereka akan di klaim oleh para caleg yang lainnya dan ini tentunya akan merugikan mereka, karna dengan golput toh tetap surat suara mereka ada yang mencobloskan, dari pada suara mereka di coblos tanpa sepengetahuan mereka karena kegolputannya maka masyarakat pedesaan lebih memilih menjual surat suaranya kepada para caleg dan mereka akan mendapatkan imbalan yang menurut mereka sudah sepadan.
Entah sampai kapan fenomena ini akan terus berlanjut di tengah-tengah kehidupan masyarakat kita, jangan salahkan jika masyarakat terpaksa menjual suara mereka kepada para caleg melalui ‘broker-broker’ suara dari para preman, karna jika keputusan golput yang mereka ambil toh tetap saja suara mereka ada yang mencobloskan dan ini merupakan kerugian bukan hanya bagi rakyat yang merasa hak suaranya sudah begitu mudah dapat terenggut tanpa bisa berbuat apa-apa dan juga ini merupakan bahaya latin yang sewaktu-waktu dapat memenangkan para caleg yang memiliki modal besar.
Memang betul apa yang di katakana oleh Capres dari PKB Prof. Dr. Mohammad Mahfud MD, bahwa kecurangan PEMILU yang paling rawan itu berada di pelosok pedesaan, karna minimnya pengawasan dan mudahnya rakyat terpengaruh oleh sebagian golongan, membuat suara dapat begitu mudah di kuasai oleh para caleg melalui preman-preman lokal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H