Foto di atas ialah Masjid atau Surau Lubuk Bauk Tanah Datar, Sumatera Barat. Didirikan pada tahun 1896, sudah sangat berumur bukan? Tapi sampai sekarang masih berdiri kokoh, tak lekang dimakan masa. Tak banyak yang tahu tentang masjid ini. Masjid ini mulai terkenal semenjak dijadikan tempat shooting film "Tenggelamnya Kapal Van der Wijk" karya Buya Hamka.
Masjid bagi orang-orang di kampung saya, di bumi minang tidak hanya dijadikan sebagai tempat ibadah. Namun lebih daripada itu dijadikan sebagai pusat sosial kemasyarakatan. Mau ngaji di mesjid, mau menimba ilmu agama dan adat di mesjid, tempat belajar silat atau basilek dalam bahasa minang juga di lingkungan mesjid.
Semua aktifitas masyarakat menjadi hidup di mesjid, bahkan anak laki-laki minang beranjak dewasa tidak boleh ke rumah untuk beristirahat, tetapi mesjid menjadi tempat naung mereka, tidur di mesjid. Kalau sekarang banyak pengumuman-pengumuman di dalam mesjid "dilarang tidur di mesjid". Tapi beda dengan anak-anak muda minang yang menjadikan mesjid tempat mereka istirahat di malam hari dan beribadah.Â
Lain lagi di zaman perang dulu, mesjid menjadi tempat untuk mengatur strategi berperang. Menjadi benteng pusat pertahanan melawan penjajah. Sehingga tak ayal banyak pejuang-pejuang negeri ini yang lahir dari mesjid, tumbuh dan berkembang di mesjid.Â
Mesjid menjadi taman bermainnya anak-anak muda dahulu. Menjadikan mesjid selalu makmur, tidak kosong seperti yang kita dapati pada zaman sekarang ini. Anak-anak kecil ribut dikit langsung dimarah, bermain lari-lari sehingga menimbulkan kebisingan langsung dibentak.Â
Kejadian-kejadian seperti ini tidak seharusnya dialami oleh anak-anak, hal ini malah menjadikan mental mereka kerdil, sehingga bisa membuat anak-anak menjadi takut ke mesjid. Karena pasti kalau ribut dikit selalu kena marah. Perilaku mengayomi masih minim di masyarakat, rata-rata menghadapi anak kecil pasti selalu emosi.Â
Anak-anak jika basis hidup mereka di mesjid, pasti sesuai janji Allah SWT anak tersebut berhasil dunia dan akhirat. Hal ini yang sudah jarang atau bahkan hilang dari kebiasaan hidup masyarakat saat ini. Anak-anak habis waktunya di handphone, sebuah benda kecil yang katanya seisi dunia ada di dalamnya. Sangking dunia ada di tangan mereka pun tak pernah lepas dari genggamannya. Sehingga membuat anak-anak lupa diri akan kemampuan mereka yang tiada batas.Â
Sebut saja siapa generasi-generasi emas bangsa ini yang tidak dilahirkan dari mesjid, Buya Hamka, Rasuna Said, Moh. Hatta, Tan Malaka, Moh. Yamin, Agus Salim, mayoritas mereka lahir dari mesjid. Maka jika demikian sudah seharusnya mesjid betul-betul kita hidupkan kembali, tak dipandang sebelah mata.Â
Selanjutnya, dari sekian mesjid di bumi minang kita lihat strukturnya tidak banyak yang memakai kubah, sebagaimana banyak terdapat kubah di bangunan masyakat Arab. Mulai dari arsiteknya, ukiran-ukirannya, semua seiring berjalan dengan kearifan lokal.
Hal tersebut menunjukkan adanya perpaduan antara adat dan agama. Adat yang ada selalu beriringan dengan agama, sebagaimana petatah petitih minag "Adat besandi syarak, Syarak basandi Kitabullah". Dimana posisi syarak atau agama berada di puncak, adat mengikuti apa yang diperintah agama. Sehingga banyak peneliti barat yang mengatakan bahwa minang itu Islam. Karena hampir seluruh kehidupannya dibalut dengan indahnya Islam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H