Mohon tunggu...
Asrul zaman
Asrul zaman Mohon Tunggu... -

Trainer Hypnotherapy Guru

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Psikologi perkembangan anak, perlukah?

12 November 2012   03:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:36 850
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Seiring dengan perkembangan zaman yang begitu pesat, banyak ditemukan berbagai permasalah-pemasalahan terkait dengan psikologi perkembangan anak. Topik ini kiranya telah dibahas berbagai pakar pendidikan seperti halnya yang telah dibahas Roger Spery, Edward Debono, Daniel Golemen, Erik H Erikson, Sigmund Freud, Howard Gadner, Thomas Armstrong, dll. Keseriusan mereka dalam meneliti dan mempublikasikan hasil penelitian tentangpsikologi perkembangan seakan membuka mata kita bahwa permasalahan ini perlu mendapat perhatian yang lebih dari para pendidik dan orang tua, dimana dasar pengetahuan mereka dapat menunjangperkembangan anak di masa yang akan datang. Alasan inilah yang membuat beberapa pakar penddikan anak Indonesia, misalnya saja Ayah Edi, pakar Multiple Intelligences dan Holistic Learning, beliau sangat menganjurkan orang tua Indonesia untuk terlibat langsung dalam perkembangan dan pertumbuhan anak salah satunya dengan banyak membaca buku dan hAdir di berbagai seminar dan pelatihan parenting. Hal ini dinilai dapat menunjang pengetahuan orang tua untuk menjAdi bekal dalam menagani permasalahan-permasalahan yang kadang kala terjAdi dalam masa proses perkembangan anak. sebab, dari berbagai kasus ternyata masih banyak orang tua yang masih awam dengan berbagai permasalahan yang dihadapi si buah hati.

Untuk memperjelas pernyataan di atas, mari kita simak kisah seorang guru yang mengajar di sebuah sekolah ingklusi berbasis MI (Multiple Intelligences).

Kisah ini bermula saat pertama kali kami putuskan mencoba pengalaman baru dengan bergabung di sebuah sekolah. Dengan bermodalkan pengalaman mengajar di SD, SMP, dan SMA dan di sebuah lembaga bimbingan belajar serta tengah diamanahi sebagai fundraising di tigaEO (event organizer) yang mengkhuskan diri dalam seminar bisnis dan motivasi dan pengembangan diri, inilah yang membuat kami semakin yakin bahwa keputusan ini adalah keputusan yang paling tepat. Tetapi, ada satu hal yang membuat kami bertanya dalam hati “ aneh bin ajaib mendengar sekolah ingklusi, sekolah jenis apa lagi ni?”. Pertanyaan ini membuat kami semakin pusing delapan keliling. Terlebih lagi pas mendengar komen-komen kepala sekolahnya, “pak, sekolah ini sangat berbeda dengan sekolah lainnya terutama siswa-siswanya sangat unik dan berbeda”. Singkat cerita, Keesekoan harinya, di hari pertamaku mengajar langsung disuguhi dengan anak-anak yang berbeda dan benar-benar unik. Ada anak bebicara sendiri, berlari-lari nggak jelas dan nggak mau belajar( hiperaktif), suka mengamuk (Tantrum), susah mengenal huruf (dyslexia), ada juga anak pendiam layak film orphan, serta Autis. Ngeri kan! Tapi, bagi kami dengan melihat senyuman mereka yang begitu tulus. semakin membulatkan langkah tekad kami untuk tetap tinggal walaupun sekali lagi kepala sekolah menakuti-nakutiku, “pak, banyak loh yang pernah jAdi guru disini, tapi hanya bisa bertahan paling lama sepekan”. Bagi kami kata-kata itu hanya menjAdi pembakar semangat untuk tetap mencoba pengalaman berharga ini.

Beberapa bulan kemudian, setelah kami mengambil sebuah sertifikasi sebagai terapis dan trainer, akhirnya kami dipercaya menangani pelatihan parenting dan terapi anak-anak yang berkebutuhan khusus bahasa kami “special care”. Suatu hari kami menangani siswa kami sebut saja nama Adi. Anak ini memiliki kelainan beberapa kelainan, antara lain sering mengamuk (tantrum), kelainan dari segi linguistic, phobia berlebihan terhadap sesuatu, suka ketawa sendiri. Ada satu hal paling yang menarik dari siswa kami ini, dari segi kognitif daya tangkap sangat cepat. Sehingga shadow teacher (guru pendamping) tidak terlalu mengalami kesulitan. Namun, keadaan ini sangat jauh berbeda ketika dia mengalami phobia berat ujung-ujung dia akan mengamuk dan membenturkan kepala atau memukul kepalanya dengan setiap benda yang ditemui. Melihat kondisi membuat semua orang merasa kasihan padanya. Bahkan, tidak sedikit yang melihatnya meneteskan airmata karena merasa iba padanya.

Suatu hari kami diperhadapkan pada sebuah peristiwa dimana Adi mengamuk dan ternyata shadow teacher malah menariknya secara paksa karena tidak tahan bajunya ditarik hingga kancing bajunya hampir copot semua. Melihat perlakuan itu, spontan kami meminta diberikan kesempatan menangani tantrum anak tersebut. Beberapa saat sempat membuat kami kewalahan menanganinya. Karena tantrum sudah mencapai puncaknya, sampai kacing baju kami hampir copot semua. Alhamdulillah setelah berkomunikasi dengan dia dengan cara yang baik akhirnya luluh juga hatinya.

“Di, saying nggak dengan ciptaan allah? Seperti binatang, tumbuhan , dan gunung-gunung” ,kataku. Sambil menatap mata Adi

“Adi sayang pak”, jawabnya dengan nada polos.

“Tapi kok Adi masih menangis sih”, tanyaku lagi

“Pak, siapa ciptakan airmata”, tanya Adi dengan nafas memburu

“Oh, itu diciptakan oleh Allah, yang menciptakan Adi juga”, Jawabku dengan nada pelan.

“Kalau Adi menangis terus berarti habis dong airmata Adi. Kalau habis apa yang keluar pak?”,Tanya lagi. Wajah tampak serius dengan pertanyaan itu.

“Di, kalau airmata habis berarti nanti yang keluar bisa darah atau yang lain juga bisa”,Jawabku. Tampak wajahnya sedikit ketakutan dengan perkataanku tersebut.

“Berarti Adi harus berhenti menangsis dong, pak?” Sambil tersenyum

“Iya dong, Adi kan anak kuat, cerdas, dan suka menolong orang, kan Adi juga sayang dengan cintaan Allah. Eh, tau nggak sih Di, kamu itu kan ciptaan allah. Kalau Adi sering menyakiti diri sendiri dengan membenturkan kepala ke tembok atau dengan memukul dengan batu. Berarti Adi nggak sayang dong sama ciptaan Allah. Terlihat Adi keheranan dengan perkataanku tersebut.

“Berarti Adi harus sayang dong pak dengan diri sendiri”,Tanya Adi dengan nada penasaran.

“100 untuk Adi, di kalau tidak sayang sama diri sendiri itu namanya orang zhalim dan tidak bersyukur. Apa Adi mau jadi orang zhalim, kalau bapak sih mending jadi alim bisa masuk surga

Nggak mau pak, Adi nggak mau jadi orang zhalim, pak mulai hari ini Adi mau rajin belajar dan nggak mau menyakiti diri Adi lagi. Karena Adi ingin berbakti sama mama dan papa.adi juga tidak ingin merepotkan orang tua. Setelah mengucapkan kata-kata itu Adi mengajak shadow teacher masuk ke kelas untuk belajar.

Setelah hari itu, rasa penasaranku terhadap apa yang dirasakan Adi membuat semakin gencar mencari referensi tentang kasus anak seperti ini. Akhirnya pencarian kandas juga pada sebuah buku asing yang mengatakan dengan gambalang bahwa anak yang mempunyai ciri seperti Adi adalah anak-anak korban tekanan dan kurang rasa sayang pada orang tua. Setelah menghadap kepala sekolah dan coba menanyakan ke guru yang telah melakukan program VISIT HOME ke rumah Adi juga menyebutkan bahwa benar adanya dugaan kami tersebut. Di kesehariannya Adi memang selalu mendapat tekanan dari orang tuanya. Sekilas mengenai kehidupan keluarga Adi. Dia dilahirkan dari keluarga bisa dibilang berada, ayahnya kerja di luar negeri dan ibunya memiliki showroom mobil. Kesibukan ibu dan ayahnya membuat Adi kehilangan kasih sayang terlebih lagi kehilangan sosok ayah dalam dirinya. Bahkan yang lebih memiriskan labelisasi dari keluarga semakin memperparah keadaan Adi. Keaaan ini pula yang membuat kami berpikir bahwa sebagian orang tua hanya menjadikan sekolah sebagai tempat penitipan anak yang paling aman dibanding tempat lain.

Selain dari kasus di atas masih ada beberapa kasus yang berkaitan ketidakpahaman orang tua psikologi perkembangan anak. hanya pada tulisan ini hanya akan di-share satu kisah yang kami terus merasa sedih harus meinggalkan siswa kami sebelum berbuat banyak pada mereka .jikalau mengingatnya. Sekolah kami bisa dibilang sekolah yang menampung semua anak-anak yang bermasalah dari sekolah-sekolah favorit. Dengan alasan semua anak memiliki potensi masing-masing, hanya saja sebagian kita tidak member kesempatan aktualialisasi diri dengan jatah cukup. Di suatu kesempatan, ada seorang ibu dan bapak yang putus asa karena anaknya tidak naik kelas. Mereka sangat menyesalkan ketidakadilan dari sekolah tempat anaknya sekolah dulu. Saat observasi ibu tersebut bercerita tentang keadaan anaknya yang sudah ikut berbagai les privat. Bahkan, ibunya sendiri yang turun langsung membimbing anaknya. Tetapi tetap saja nilai anaknya masih anjlok. Berbagai upaya telah dilakukan tetapi tetap saja mengalami jalan kebuntuan. Sempat mereka berpikir apa sebenarnya dosa mereka mengapa semua ini terjadi pada keluarga mereka. Sambil bercerita si ibu tidak henti-hentinya meneteskan airmata. Beliau meminta para guru untuk membantu merubah karakter anaknya. Apapun akan dia lakukan untuk perubahan anaknya. Yang paling menarik satu perkataan yang paling luarbiasa yang dikatakan oleh ketua yayasan, “bu, mestinya ibu harus bersyukur telah diberi kesempatan mendidik anak ibu saat ini. Anak ibu memilki potensi yang besar. Mari kita bergandeng tangan untuk memberi kesempatan untuk aktualisasi diri. Jujur bu saya kepengen sekali memperoleh anak seperti anak ibu karena mereka surga bagi orang tua jika memperoleh anak-anak yang luarbisa. jadi, ibu hanya perlu bersyukur dengan pemberian anak yang luarbiasa. Kemudian ibu tersbut bangkit dari tempat duduknya dan berjanji akan terus bersyukur dan berdoa untuk perubahan anaknya.

Dari kisah di atas, memberi titik terang bagi kita semua bahwa kurangnya pengetahuan orang tua terhadap psikologi perkembangan anak dapat berakibat buruk bagi diri anak. Masih banyak contoh yang ril dalam kehidupan kita tentang pola pengasuhan anak yang terkadang dianggap sepele. Seperti hal sepenggal kisah guru di atas betapa sebagian orang tua menganggap sekolah sebagai tempat pembentukan kepribadian yang paling berperan bagi pendidikan anak.Tentu saja pernyataan itu tidak sepenuhnya salah. Namun, tidak bisa juga kita menyepelekan peran pola pendidikan di rumah karena dirumah si anak jauh lebih banyak interaksi disbanding di sekolah. Maka, tidak heran jika terbit sebuah buku yang berjudul “ ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya”. Bukan sebuah ketidaksengajaan penulis buku tersebut memilih judul buku tersebut. Tentunya saja penulis sangat yakin bahwa pola pengasuhan yang salah yang diterapkan di rumah dapat mempengaruhi perkembangan anak. Hal ini sangat beralasan, saat ini di kota besar didapati problematika yang di hadapi generasi muda saat ini umumnya sangat berkaitan erat dengan berbagai kasus yang dihadapinya di rumah. Kasus-kasus yang seringkali mereka alami antara lain Broken home, diskriminasi emosional anak, kasus korupsi orang tua, selingkuh ,dll. kesemua kasus ini ternyata cukup menyita waktu dan pikiran si anak. Tidak banyak dari mereka yang memilih bunuh diri karena tidak tahan menanggung malu, strees berkepanjangan, minum-minuman keras, memakai obat terlarang, dan dugem. Sikap dan perilaku anak sperti ini Bisa dibilang mereka adalah korban dari permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam keluarga. Marilah kita bersama-sama berpikir bijak boleh jadi apa yang dilakukan anak kita adalah sebuah refleksi dari perbuatan yang kita lakukan baik di masa lalu maupun di masa kini. Sebagai penutup dari tulisan ini, mari berpikir bijak untuk masa depan putra dan putri kita, selamatkan hari mereka dengan cinta dan kasih sayang kita miliki. Jangan pernah berhenti belajar karena mereka juga tidak akan berhenti belajar dari orang tuan dan guru-gurunya.

“Sungguh beruntung bagi mereka yang dititipkan anak. Setiap Subuh mereka menggandeng tangan anaknya untuk shalat ke masjid. Alangkah indah jika aku merasakan yang sama seperti mereka rasakan. Pasti dunia ini lebih berwarna, pasti hidupku akan lebihbahagai” dari seorang lelaki yang telah bertahun-tahun belum dikarunia seorang anak.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun