Mohon tunggu...
Asrul zaman
Asrul zaman Mohon Tunggu... -

Trainer Hypnotherapy Guru

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Probelematika Pendidikan Hard Skil, Soft Skil dan Karakter pada Anak

9 Maret 2014   12:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:07 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam Undang-undang dasar pasal 2c dikatakan bahwa pendidikan yang diberikan terhadap anak-anak sebenarnya merupakan pendidikan keseluruhan baik jasmani maupun rohani. Anak-anak yang didik jasmaninya (pendidikan jasmani) supaya menjadi sehat dan kuat, juga didik kecerdasannya atau daya akalnya (pendidikan, intelek, pendidikan kecerdasan) dengan jalan mengajarkan berbagai mata pelajaran, juga dididik agar anak itu berkelakuan baik, suka tolong menolong, berbakti kepada orang tua dan guru (pendidikan kesusilaan dan pendidikan sosial). Dari undang-undang diatas disebutkan secara gamblang dua proses transfer knowledge yang harus dilakukan oleh guru. Proses tranferisasi ini erat kaitannya denganKompetensi mengajar dan mendidik.

Ada Perbedaan mendasar dari kedua kompetensi ini, ada beberapa pendapat yang mengatakan mendidik dan mengajar itu jelas berbeda. Mengajar adalah memberikan pengetahuan atau melatih kecakapan atau keterampilan pada anak. Secara tidak langsung dalam proses pengajaran guru melatih kecerdasan ketangkasan anak. Sedangkan kompetensi mendidik adalah membentuk budi pekerti dan watak anak-anaknya. Dengan proses ini, guru membentuk jiwa sosial anak. Dari pernyataan diatas dapat dikatakan bahwa mengajar lebih pada pada pendidikan yang bersifat hard skill dan mendidik lebih berfokus pada pendidikansoft skill yang dimiliki anak. Atas dasar ini pula para pakar di bidang pendidikan menganggaphard skill yang dimiliki anak tidak berarti apa jika tanpa didukung oleh soft skill yang dimiliki anak. Hal inilah yang kemudian menjadi tantangan guru. Dengan tuntutan seperti ini maka pendidikan yang selama ini digalakan hanya berbasis hard skill. Dinilai hanya membentuk anak berjiwa individual yang hanya mengejar popularitas dan nilai yang tinggi. Namun, ketika mereka berada di lingkup masyarakat, umumnya mereka tidak dapat melakukan transferisasiilmu yang mereka miliki dengan baik, karena mereka tidak memiliki soft skill. Alasan inilah yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya pendidikan karakter mulai dari pendidikan dasar sampai pada perguruan tinggi.

Dalam sebuah penelitian di Harvard University Amerika Serikat (dalam Ali Ibrahim Akbar, 2000) menunjukkan bahwa kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan ditentukan hanya sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan, orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skilldaripada hard skill. Soft skill merupakan bagian keterampilan dari seseorang yang lebih bersifat pada kehalusan atau sensitivitas perasaan seseorang terhadap lingkungan di sekitarnya. Mengingat soft skill lebih mengarah kepada keterampilan psikologis maka dampak yang diakibatkan lebih tidak kasat mata namun tetap bisa dirasakan. Akibat yang bisa dirasakan adalah perilaku sopan, disiplin, keteguhan hati, kemampuan kerja sama, membantu orang lain dan lainnya. Soft skill sangat berkaitan dengan karakter seseorang.

Menyadari pentingnya karakter, dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan di kota-kota besar tertentu, gejala tersebut telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta didik melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter. Agar peserta didik memiliki karakter mulia sesuai norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat, maka perlu dilakukan pendidikan karakter secara memadai.

Berbagai realitas sosial sebagai efek dari rendahnya pendidikan karakter yang diajarkan di sekolah-sekolah. Timbul sebuah pertaynayaan besar "apakah sosialisasi pendidikan karakteryang menghabiskan APBN tidak memiliki peran apa-apa dalam mengatasi karakter generasi bangsa ini? Pertanyaan ini seakan membuka mata kita bahwa sosialisasi yang digalakan tidak akan berefek besar jika seorang pendidik tidak memiliki inner komptensi, dimana kompetensi ini merupakan kemampuan mendidik seperti yang telah diungkapkan di atas. kemampuan inilah yang intensitasnya telah merosot di sekolah-sekolah. Seperti yang kami alami saat mengajar di daerah terpencil, dimana yang kami dapati kemampuan mengajarlah yang menjadi prioritas guru sehingga ketika siswa mengalami dekadensi moral umumnya tidak ditindaki. Padahal di usia sekolah seperti inilah pendidikan karakter haruslah menjadi prioritas utama. Seperti yang diungkapkan oleh Mochtar Buchori (2007), pengembangan karakter seharusnya membawa anak ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata.

Inilah kemudian kemudian menjadi tantangan penerapan kurikulum 2013 yang saat ini marak dibicarakan oleh pakar pendidikan. Betapa tidak pendidikan karakter menjadi sebuah harapan besar untuk menyelesaikan tindakan amoral yang banyak terjadi pada anak didik.Tetapi tentu tidak cukup dengan memenerapakan pendidikan karakter saja tanpa penerapan pendidikan hard skil dan sof skill. Ibarat seekor burung, pendidikan karakter adalah badan burung sedang pendidikan hard skill dan soft skill adalah dua buah sayapnya. Jadi, ketika penerapnnya tidak berbarengan berbarengan, maka akan terjadi ketimapangan dalam masyarakat. Hal terlihat dalam sebuah wawancara job fair di sebuah universitas ternama diIndonesia, dimana ketika itu ada seorang sarjana freshgraduate yang memiliki IPK tinggi tidak diterima di salah satu perusahaan terkemuka di Indonesia. Alasan cukup sederhana, si sarjana ini tidak pernah aktif dilembaga kemahasiwaan sehingga ketika dia menjawab pertanyaan berkaitan dengan cara bermasyarakat. Terlihat jelas sifat arogansi dan merasa paling pintar lebih dominan muncul. Sifat inilah yang ditakutkan oleh perusahaan karena ia nantinya tidak dapat bekerja tim.

Menutup bahasan ini, semoga dengan terjadinya berbagai ketimpangan di masyat sebagai akibat tumpang tindihnya penerapan pendidikan hard skill, soft skill, dan karakterakan semakin menyadarkan kita untuk senantia berusaha memberikan Porsi yang berimbang pada ketiga pendidikan tersebut. Dengan berimbangnya ketiga pendidikan tersebut, maka kita berharap tindakan amoral yang marak terjadi pada sebagian besar anak sekolah dapat segera teratasi. Dan juga harapannya, guru pun harus terus berbenah dan berintrospeksi diri. Boleh jadi apa yang terjadi pada anak didik kita adalah juga buah dari kesalahan guru sebagai pendidik. Boleh jadi anak melakukan tindakan amoral karena mereka kehilangan figur yang dapat dicontohi dan ditiru di sekolah sehingga mereka melampiaskan semuanya dengan melakukan tindakan-tindakan amoral sebagai bentuk perwujudan tekanan psikologisnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun