Hujan dan Asa.
Hujan..., dulu kau lantunkan nyanyian penuh cinta,
Menumbuhkan hijau di tanah yang gersang,
Membasuh debu di kota yang fana,
Membawa pelukan hangat dari langit yang terbuka.
Namun kini, kau datang dengan wajah berbeda,
Menyisipkan resah di sela-sela air deras menghantam semua
Mengalirkan duka di jalan yang tergenang,
Bersama sampah, banjir, dan harapan yang tenggelam.
Oh hujan, sampai kapan kau jadi musuh?
Sampai kapan air mengabarkan keluh?
Adakah tangan yang berani menata?
Membimbingmu kembali ke tempat yang semestinya?
Di mana para pemimpin, yang katanya bijak,
Mereka yang berjanji di hadapan rakyat,
Adakah aksi, bukan sekadar suara?
Adakah langkah nyata untuk semua?
Hujan, kami rindu senyum dalam tetesan rahmatmu,
Kami ingin kembali pada damai yang dulu,
Dengan saluran yang besar dan tangguh,
Agar kau mengalir tenang, tak lagi mengusik waktu.
Bukan salahmu, wahai hujan,
Sebab ini tentang kita, manusia yang lalai berjalan dalam lupa
Namun, masih ada asa, di bawah langit yang masih basah,
Untuk perubahan yang lahir dari hati penuh kasih dan rasa.
Makassar, 15 Desember 2024.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H