Hujan dan Asa
Hujan, dulu kau lantunkan nyanyian cinta,
Menumbuhkan hijau di tanah yang lupa,
Membasuh debu di kota yang fana,
Membawa pelukan hangat dari langit terbuka.
Namun kini, kau datang dengan wajah berbeda,
Menyisipkan resah di sela-sela derasnya,
Mengalirkan duka di jalan yang tergenang,
Bersama sampah, banjir, dan harapan yang tenggelam.
Oh hujan, sampai kapan kau jadi musuh?
Sampai kapan air mengabarkan keluh?
Adakah tangan yang berani menata?
Membimbingmu kembali ke tempat semestinya?
Di mana para pemimpin, yang katanya bijak,
Mereka yang berjanji di hadapan rakyat,
Adakah aksi, bukan sekadar suara?
Adakah langkah nyata untuk semua?
Hujan, kami rindu senyum dalam tetesmu,
Kami ingin kembali pada damai yang dulu,
Dengan saluran yang teguh dan tangguh,
Agar kau mengalir tenang, tak lagi mengusik waktu.
Bukan salahmu, wahai hujan,
Sebab ini tentang kita, manusia yang lalai,
Namun, masih ada asa, di bawah langit yang basah,
Untuk perubahan yang lahir dari hati penuh kasih dan rasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H