Dalam kampanye awal Desember 2016 lalu, mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok berjanji bahwa kualitas infrastruktur dan pelayanan publik Ibukota akan sama dengan Singapura pada 2018 nanti.
Bahkan Dekan Lee Kuan Yew School of Public Policy, Kishore Mahbubani pernah mengatakan bahwa Ahok ingin mengerjakan tugas Jakarta sampai selesai tanpa melihat rencana-rencana saja. Hal tersebut sama persis dengan yang dilakukan Lee Kuan Yew pada diri Ahok saat ini.
Kemiripan gaya kepemimpinan Ahok dan LKY tersebut sebenarnya sangat melenceng dari tujuan berbangsa dan bernegara ini. Memang kita akui bersama ketika LKY menjabat sebagai Perdana Menteri Singapura negara tersebut menjadi maju pesat dengan pemerintahan yang bersih dari korupsi, layanan kesehatan modern dan terjangkau, sistem pendidikan berkualitas unggul, bahkan tingkan PDB per kapita tertinggi di dunia, ditambah lagi dengan inovasi teknologi yang berkelanjutan.
Namun jangan lupa bahwa LKY adalah seorang pemimpin yang otoriter, bahkan dirinya berani menyingkirkan lawan-lawan politik melalui serangkaian gugatan hukum, memberangus kebebasan berekspresi kemerdekaan pers, serta membuat sejumlah peraturan yang mengontrol ketat semua kehidupan warganya.
Luar biasanya lagi adalah kebijakan LKY tidak disetir oleh ideologi tertentu namun oleh hasil. Jika pasar bebas lebih menguntungkan maka pakailah! Jika otoritarianisme lebih efektif, ambil! HAM dan kebebasan individu bukan prioritas.
Kebijakan Ahok
Jika kita telaah kembali pragmatism dan otoritarianisme Ahok sangat tercium dari caranya menangai permasalah banjir di Jakarta. Bahkan Ahok tanpa belas kasih menggusur secara paksa ribuan pemukiman warga untuk melancarkan normalisasi aliran sungai Jakarta.
Kini LBH Jakarta menyebut bahwa Ahok telah melanggar sejumlah prosedur penggusuran termasuk tidak adanya musyawarah dan kesepakatan yang ada, dengan menggunakan kekerasan oleh aparat TNI dan Polri kekuasaan Ahok di Jakarta sangat terasa. Itu terbukti bahwa semuanya tidak ada solusi yang memadai, serta nihilnya pendampingan hukum bagi warga yang tergusur.
Pertanyaannya mengapa Ahok menggunakan kekerasan menggusur paksa warga Jakarta? Bagi Ahok, itulah solusi yang tepat dan efektif, dan hasilnya langsung kelihatan tanpa memandang tangisan warga korban penggusuran. Bukti lainnya lagi adalah terkait kebijakan reklamasi pantai utara Jakarta. Walau pembangunan 17 pulau terbukti sangat merugikan nelayan dan masyarakat pesisir ditambah lagi telah merusak ekosistem disekitarnya, ternyata Ahok tetap melanjutkan proyek tersebut, UNTUK SIAPA? Pastinya untuk kepentingan kroni, keluarga dan kerajaan bisnis Ahok.
Hebatnya lagi Ahok mengatakan bahwa proyek reklamasi akan memberikan keuntungan dana kontribusi sebesar Rp 178 Triliun, WOW..dana itu cukup untuk membangun berbagai fasilitas publik di DKI..LUAR BIADAB..!!!!!!!
Dengan kekuasaanya, Ahok memungut dana kontribusi tambahan dari pengembang tanpa landasan hukum yang jelas. Peraturan daerah belum rampung, namun dana tetap ditarik tanpa masuk APBD dan digunakan untuk membiayai program pemerintah. Sampai saat ini KPK masih menyelidiki dugaan tindak pidana dibalik diskresi kebijakan yang diambil oleh Ahok.
Gaya Kepemimpinan Utilitarianisme LKY dan Ahok
Mungkin anda bertanya apa yang salah dari Ahok? Bukankah pembangunan memang harus cepat? Bukankah ada sebuah pengorbanan dalam setiap keputusan dan kebijakan?
Inilah yang dimaksud dengan kategori kepemimpinan utilitaritarianisme, gaya kepemimpinan LKY dan Ahok sama persis dengan kategori tersebut. Ultilitarianisme yaitu teori yang mendukung sebanyak mungkin keuntungan bagi sebanyak mungkin orang. “The greatest happiness of the greatest number,” ujar filsuf Inggris abad ke-18, Jeremy Bentham.
Suatu tindakan dianggap cukup benar jika dirinya menghasilkan sebanyak mungkin keuntungan dengan sedikit mungkin orang yang akan dikorbankan. Teori ini tidak bicara hak atau kebebasan individu.
Menurut anda mana yang lebih penting, kebahagiaan sepuluh ribu warga dipinggir sungai atau kebahagiaan sepuluh juta warga DKI bebas dari banjir?
Mana yang lebih bermanfaat, pendapatan nelayan tradisional di pasar ikan atau Rp 178 Triliun dana kontribusi untuk DKI?
Jawaban Ahok begini..!!!! mereka yang digusur itu kan dapat rumah susun? Pastinya mereka ikut bahagia kok. Menurut hasil dari laporan LBH Jakarta tentang bagaimana mayoritas warga yang pindah ke rusun sangat merana karena penghasilan mereka turun drastis, bahkan tingkat pengangguran semakin bertambah.
Pragmatism dan otoritarianisme itu bagaikan candu. Ingat..ketika Ahok menyatakan akan membunuh dua ribu orang demi sepuluh juta orang? Ataukah saat Ahok meminta kepada petugas keamanan untuk membunuh para demostran yang anarkis?
Atau perhatikan dengan seksama ketika Ahok tadinya hanya bermasalah secara etis kini bermasalah secara hukum. Faktanya, Pengadilan Tata Usana Negara (PTUN) Jakarta memenangkan gugatan warga Bukit Duri atas Pemprov DKI yang ternyata terbukti menyalahi semua prosedur penggusuran yang dilakukan Ahok. Bahkan Ahok kalah telah menghadapi gugatan warga Bidara Cina akhir April tahun lalu.
Bayangkan jika anda diusir paksa, rumah anda dihancurkan, lalu pengadilan bilang anda yang benar, pemerintah yang salah. Lalu dengan GAGAH PERKASA Ahok mengatakan bahwa tindakan itu BENAR dan akan melanjutkan PENGGUSURAN semua penduduk Jakarta yang menyalahi aturan pemerintah Jakarta. Apa itu namanya kalau bukan KECANDUAN?
SALAM KOMPASIANA
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H