Berita di website mengenai Kyrgyzstan berjudul “...15.000 Kyrgyz brides kidnapped annually” menggelitik saya untuk menggali infonya lebih jauh. Berita ini juga dikaitkan dengan laporan khusus dari website Rusia bertajuk “Kidnap-rape-marry, Real Man”. Pikiran langsung teringat cerita Ramayana yang mengisahkan seorang raja raksasa sedang mabuk cinta kepada seorang wanita jelita. Sang raja bernama Rahwana yang merasa paling sakti tanda tanding bertekad untuk mempersunting wanita pujaannya, Dewi Shinta melalui cara apapun, termasuk mengambil paksa dari keluarga dan suaminya. Dengan menggunakan berbagai tipu-daya, sang raja berhasil menculik Shinta dan memboyong ke istananya. Perang tanding tidak terelakkan antara si penculik, Rahwana,dengan Hanoman dan pasukan keranya. Cerita berakhir happy ending dengan terbunuhnya Rahwana oleh Hanoman yang kemudian membawa Dewi Shinta kembali ke suaminya, Rama Wijaya. Itu adalah sinopsis cerita klasik Ramayana yang dipertunjukkan dalam bentuk sendratari kolosal di teater terbuka berlatar belakang Candi Prambanan di Jawa Tengah.
Adegan di atas hanya merupakan cerita fiksi yang menjadi kekayaan budaya di Indonesia, Thailand serta India,dan kini berhasil dikemas menjadi tontonan sendratari yang menarik.Di Indonesia kita masih mengenal istilah “kawin lari” dan “kawin paksa”, tapi ini pun tinggal cerita yang dapat kita jumpai dalam buku-buku kesusasteraan lama, sebelum jaman kemerdekaan. Buku-buku novel yang ditulis di jaman Pujangga Baru (1933-1942) menceritakan mengenai bentuk-bentuk perkawinan yang dipaksakan oleh orang tua kepada anak gadisnya, biasanya karena motif kesulitan ekonomi. Suasana masyarakat di Sumatra Barat saat itu yang mengalami bentuk “kawin paksa” ditulis dalam novel “Siti Nurbaya” karya Marah Rusli. Novel yang sudah diangkat dalam layar lebar tersebut menggambarkan keadaan keluarga di satu dusun di Sumatra Barat yang tidak berdaya dililit hutang terpaksa menyerahkan putri gadisnya (Siti Nurbaya) kepada rentenir tua bangka (Datuk Maringgih).
Dalam masyarakat Jawa tradisional terdapat jenis perkawinan Arranged Marriage –yang diatur oleh orang tua atau keluarga dari calon pengantin. Hal ini didasarkan pada persepsi adat Jawa yang memposisikan seorang wanita itu sebagai “konco wingking” yang kodratnya hanya ada di rumah, ditambah lagi bagi keluarga muslim, kaum wanita tidak diperbolehkan untuk menunjukkan diri di tempat-tempat umum. Kecilnya kesempatan untuk saling kontak langsung serta perhatian besar orangtua, biasanya sebuah keluarga berkepentingan untuk mencarikan jodoh terbaik demi masa depan anak-anaknya, berdasarkan “bibit, bebet, bobot” sebagai parameter orang Jawa dalam memilih calon menantu, yang artinya berturut-turut adalah asal keturunan, lingkungan keluarga, dan kualitas yang bersangkutan dari segi pendidikan, pekerjaan dan juga kepribadiannya.
Nilai budaya di Sumatra dan Jawa terus mengalami perubahan sesuai dengan perjalanan waktu dan perkembangan jaman.Di era teknologi informasi ini dunia sudah bagaikan rumah kaca, semua kejadian di sudut dunia yang satu dapat dengan jelas terlihat dari sudut dunia lainnya.Dengan sendirinya interaksi berbagai peradaban dunia saling mempengaruhi satu sama lain, tidak terkecuali terkait dengan masalah proses perkawinan anak manusia. Dengan alasan yang berbeda, praktek-praktek arranged marriage melalui “Mak Comblang” sekarang telah berevolusi menjadi match-making dan justru ditambah dengan makin menjamurnya usaha “Biro Jodoh”. Dengan demikian peran pihak ketiga dalam proses perkawinan ternyata tetap bertahan dan bahkan semakin bervariasi jenisnya sejajar dengan konsep budaya Barat yang berprinsip bahwa ‘love before marriage is the only thing someone to be happy’. Namun demikian, statistik menunjukkan bahwa faktor penyebab perceraian dari suatu perkawinan tidak ada korelasi langsung dengan pola perkawinan itu sendiri, apakah didahului dengan penjajakan melalui pacaran atau “tembak langsung” lewat jasa Biro Jodoh atau sekarang bahkan via internet.
Penculikan Calon Mempelai Wanita
Pengaturan perkawinan melalui agen pencari cinta semacam “Mak Comblang”, dan bahkan dengan cara-cara perburuan serta penculikan wanita muda untuk dijadikan mempelai wanita ternyata juga terjadi di banyak belahan dunia sejak berabad-abad lalu dan sebagian diantaranya masih terus berlangsung hingga sekarang. Praktek penculikan remaja putri atau bride kidnapping atau marriage by abduction sampai saat ini masih terdapat di berbagai belahan dunia, dari ujung benua Afrika (Ethiopia, Kenya, Rwanda), Asia (China, suku Hmong di Asia Tenggara, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Turkmenistan dan Uzbekistan), wilayah Caucasus (Azerbaijan, Armenia, Georgia, Dagestan, Chechnya, dan Ingushetia), Eropa (Bulgaria, Turki, Moldova, komunitas Gypsy Roma), benua Amerika (Meksiko, Amerika Selatan) serta di Amerika Serikat berupa arranged marriage yang dilakukan oleh para imigran dari Amerika Latin dan Asia Selatan. Bentuk penculikan wanita bisa berbeda dari satu tempat dengan tempat lainnya, dari yang bersifat formalitas seremonial sesuai adat kebiasaan suku bangsanya sampai pada tindak kriminal bermotif pemerkosaan.
Di wilayah Asia Tengah dan Caucasus, penculikan wanita untuk dijadikan calon pengantin merupakan bagian budaya suku bangsa “nomad’ yang sudah berlangsung sejak jaman Silk Road berabad silam. Asal mulanya, para pemuda bangsa nomad yang hidup mengembara di padang rumput yang luas Asia Tengah dalam mencari calon istri harus mampu menunjukkan “SIM” (Sertifikat Ilmu Menunggang) kuda. Kepiawaian menunggang kuda perlu dibuktikan kepada calon mertua melalui demonstrasi mengejar, menangkap dan mencium wanita pujaan yang juga berkuda di depannya bersenjatakan cemeti untuk menjaga dirinya dari pemuda yang sedang memburunya. Di abad modern bentuk pengejaran target calon mempelai wanita dilakukan dengan kendaraan mobil oleh calon mempelai pria dan sejumlah teman-temannya. Tradisi perburuan remaja putri untuk dijadikan istri atau bride kidnapping yang dilarang selama rezim komunis Uni Soviet berkuasa, kini dipraktekkan kembali oleh penduduk desa-desa tertentu di Kazakhstan, Turkmenistan,Uzbekistan, dan bahkan marak di Kyrgyzstan.
Setelah negara-negara di Asia Tengah merdeka dari Uni Soviet pada tahun 1991, mereka berusaha untuk membangun identitas nasional dengan cara menghidupkan kembali adat-istiadat dan budaya lokal, diantaranya yang juga ikut berkembang di masyarakat pedesaan adalah proses perkawinan melalui penculikan. Praktek penculikan wanita untuk dijadikan mempelai atau bride kidnapping dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu jenis penculikan yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, sehingga peristiwanya menjadi semacam formalitas pelaksanaan adat-istiadat lama yang masih terpelihara. Jenis kedua adalah penculikan wanita tanpa persetujuan atau pengetahuan pihak yang diculik untuk tujuan pemerkosaan dan bentuk tindakan kekerasan lainnya, seperti yang terjadi di Rwanda misalnya. Adapun jenis bride kidnapping yang dipraktekkan di wilayah Asia Tengah umumnya tergolong lunak, dimaksudkan sebagai bagian dari prosesi perkawinan.
Ala Kachuu (Buru-Sergap) di Kyrgyzstan
Dari semua negara di Asia Tengah, Kyrgyzstan menempati urutan teratas yang masyarakatnya masih banyak menjalankan bride kidnapping atau dalam bahasa setempat disebut Ala Kachuu yang arti harfiahnya adalah “sergap dan kabur”. Sejumlah faktor yang muncul setelah kemerdekaan, missal masih banyaknya kemiskinan, tidak adanya jaminan akan pendidikan dan pekerjaan, serta situasi politik dan keamanan yang tidak menentu, membuat masyarakat Kyrgyzstan kembali ke adat lama, termasuk budaya Ala Kachuu. Mereka menganggap bahwa bride kidnapping merupakan tradisi yang sudah mendarah-daging, sulit dirubah. Keluarga pihak wanita setelah menerima kabar penculikan sebenarnya dapat bergerak menghentikan proses perkawinan, namun kebanyakan justru mendukungnya. Di kalangan mereka sudah terbangun persepsi bahwa gadis yang diculik justru dianggap berharga karena terpilih sebagai calon mempelai wanita. Sebaliknya penolakan dapat menimbulkan stigma sosial yang memalukan keluarga serta gadis itu sendiri. Terlebih lagi jika seorang gadis telah menginap di rumah penculik, maka keluarganya tidak akan mau menerimanya kembali karena dianggap sudah tidak suci lagi.
Kegiatan penculikan wanita di Kyrgyzstan biasanya berawal dari keinginan seorang pemuda yang berumur sekitar 20 tahun atau atas inisiatif dan tekanan dari orangtuanya agar pemuda tersebut segera membawa pulang seorang istri untuk dapat membantu pekerjaan rumah tangga dan di ladang pertanian/perkebunan keluarga. Mulailah disusun sesi perburuan terhadap seorang target yang sudah diketahui identitasnya secara jelas atau cukup dengan sedikit petunjuk berupa ciri-ciri seseorang beserta desa tempat tinggalnya. Pasukan “buru-sergap” dengan menggunakan mobil sendiri atau sewaan berisi calon mempelai pria dengan 3-4 orang temannya segera bergerak menuju daerah sasaran. Mereka akan berusaha mendapatkan target yang telah ditetapkan, tetapi sasaran penculikan dapat berganti kepada gadis lain apabila target utama tidak ditemukan. Karena tim perburuan prinsipnya pantang kembali ke kampung sebelum berhasil membawa “korban perburuan” yang telah ditunggu oleh orang tua dan keluarganya di rumah.