Lima hubungan manusia yang dibahas khusus oleh Konfusius sebagai referensi tata hubungan sosial-masyarakat lainnya, adalah antara: Raja/Penguasa dengan rakyatnya, Ayah dengan Anak, Suami dengan Istri, Kakak dengan adik, dan hubungan di antara teman. Disini seorang yang lebih muda umur atau status sosialnya harus bersikap hormat dan setia kepada pihak yang lebih tua baik di lingkungan keluarga, masyarakat atau pada level negara, termasuk hormat dari yang masih hidup kepada leluhurnya yang telah meninggal.
Demikian juga sebaliknya, pihak senior atau atasan harus bersikap adil dan bijaksana serta memberikan perhatian terhadap nasib bawahan atau juniornya. Menurut pandangan Konfusius, pemerintah dan masyarakat akan damai kembali jika setiap individu mau melakukan introspeksi dan koreksi diri dari perbuatan-perbuatan tercela, mengatur sesuatu hal pada proporsi yang wajar dan bertidak menurut kapasitas maupun kemampuan masing-masing.
Siapapun yang mampu bersikap sesuai tuntunan moral dalam ajaran Konfusius, maka ia dapat menjadi Jun-zi (Gentleman/Orang Bijak), dan sebaliknya bagi mereka yang selalu mengingkarinya disebut Xiao-ren (Orang Rendah Budi).
Mengingat peran dan kegiatan yang dilakukan semasa hidupnya, telah menjadikan Konfusius menyandang berbagai gelar/status, antara lain sebagai guru, pemikir, filsuf, sejarawan, orang suci, dan penerus tradisi kuno. Perannya sebagai guru tidak bisa dipungkiri dengan 3000 muridnya, 72 diantaranya dianggap telah menguasai ajarannya dengan baik, dan dua diantaranya yaitu Mengzi dan Xunzi bahkan menjadi penerus dan penyebar ajaran Konfusius setelah kematian Sang Guru.
Terhitung sejak Dinasti Han (202 SM -- 220 M.), ajaran Konfusius talah ditetapkan sebagai dasar falsafah negara, kurikulum pendidikan dan materi pokok yang diujikan dalam sistem ujian sekolah maupun untuk rekrutmen pegawai kerajaan. Tidak mengherankan jika tempat pendidikan yang menyampaikan ajaran Konfusius menjamur di seantero wilayah Tiongkok. Mengenai kontroversi statusnya sebagai nabi penyebar agama, Konfusius meminta agar manusia lebih fokus menjalani kehidupan terlebih dulu, dengan mengaakan: "Jika kamu tidak mengetahui tentang kehidupan di dunia, bagaimana kamu bisa mengetahui tentang kehidupan setelah mati".
Hanya sekali mengalami penolakan di jaman kedinastian Tiongkok, ketika Kaisar Qin Shi-huang dari Dinasti Qin (221-207 SM) melarang penyebaran pemikiran Konfusius serta membakar buku-bukunya. Selebihnya ajaran Konfusius mendapatkan tempat terhormat sepanjang sejarah kedinastian di Tiongkok dan mampu bertahan dalam menghadapi persaingan dengan ajaran-ajaran agama maupun falsafah kehidupan dunia yang masuk ke Tiongkok.
Agama-agama besar dunia seperti Budha, Islam, Katolik dan Kristen Protestan berhasil masuk dan dianut oleh sebagian penduduk di wilayah Tiongkok, namun mereka tetap tidak meninggalkan kebiasaan dan kepercayaan yang terkandung dalam ajaran Konfusius, terutama bagi suku bangsa Han sebagai suku mayoritas bangsa Tiongkok.
Agama Budha yang dibawa oleh para biksu dari India sekitar abad ke-2 atau 1 SM berkembang cukup signifikan di beberapa dinasti. Melalui interaksi yang cukup panjang dengan dua ajaran asli Tiongkok, Konfusianisme danTaoisme, masyarakat Tiongkok bahkan secara sengaja maupun tidak sengaja, telah menjalankan 3 (tiga) ajaran tersebut sebagai satu kesatuan yang dinamakanSan Jiao (Tiga Ajaran/Agama). Di Indonesia ajaran "three in one" ini disebut sebagai Sam Kauw atau Tridharma.
Bersamaan dengan runtuhnya sistem monarki terakhir di Tiongkok, yaitu Dinasti Qing dari bangsa Manchu (1644-1912), nasib ajaran Konfusius secara formal memang mengalami kemunduran sangat signifikan. Ajaran yang merepresentasikan tradisi-tradisi kuno bercorak feodal ini menjadi sasaran kritik dari Gerakan Budaya Baru tahun 1912. Nasib Konfusianisme lebih buram lagi setelah pemerintahan Nasionalis di bawah Chiang Kai-shek digusur ke Pulau Formosa (kini Taiwan) oleh Tentara Merah pimpinan Mao Zedong.
Sejak berdirinya pemerintah Republik Rakyat Tiongkok yang berazaskan komunisme pada tahun 1949, semua yang terkait dengan feodal-kapitalis dibabat habis termasuk ajaran Konfusius. Demo mengecam ajaran Konfusius terjadi lagi pada tahun 1973 bersamaan dengan pembersihan pengaruh dan pengikut Jenderal Lin Biao yang gagal mengkudeta Ketua Mao. Puncak penolakan Konfusianisme terjadi pada saat berlangsungnya Revolusi Kebudayaan (1966-1976), yang dianggap sebagai pemikiran dan ajaran usang yang dapat menghambat lajunya langkah revolusi sosialis Tiongkok.
Konfusianisme Sebagai Identitas Bangsa Tiongkok