Mohon tunggu...
Mohamad Asruchin
Mohamad Asruchin Mohon Tunggu... -

Pemerhati masalah sosial-politik, \r\ntinggal di Bekasi, Jawa Barat - Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Marxisme, Leninisme, dan Maoisme

5 Oktober 2017   20:36 Diperbarui: 6 Oktober 2017   03:16 8165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam mengadopsi teori Marxisme dan Leninisme, Mao Zedong  telah menyesuaikan dengan kondisi setempat atau bisa disebut sebagai pencinaan atau 'Chinanisasi' Marxisme. Pola ini mengulang Chinanisasi Dinasti Yuan/Mongol (1260-1368) dan Dinasti Qing/Manchu (1644-1912), dimana meskipun secara fisik bangsa asing Mongol dan Manchu berkuasa di China pada jamannya, namun mereka akhirnya justru terserap ke dalam budaya dan peradaban China. 

Teori utama Marxisme mengenai dialektika atau kontradiksi telah dipadukan dengan filosofi China kuno dari Taois 'Yin-Yang', yang melihat semua benda di dunia pada dasarnya bertentangan satu sama lain namun berjalan harmonis dan saling membutuhkan, misalnya pasangan Siang-Malam, Laki-Perempuan, Bumi-Langit, Api-Air, Baik-Buruk, dst. Dari sinilah Mao meyakini bahwa kontradiksi selalu ada dalam situasi apapun.

Menjelang dilaksanakannya Program Lompatan Jauh Ke Depan atau Da Yue Jin (1958-1962) yang memobilisasi massa untuk menggenjot produksi pertanian maupun industri, Mao mengeluarkan teori yang membedakan kontradiksi sosial menjadi 2 (dua), yaitu: 'Kontradiksi antara Kita dan Musuh' yang bersifat Antagonistik dan 'Kontradiksi di antara Kita' atau Kontradiksi Non-Antagonistik. Pemecahan jenis kontradiksi pertama harus melalui penghancuran, sedangkan yang kedua diatasi dengan cara re-edukasi.

Garis pemisah antara kedua jenis kontradiksi ini tidak tegas. Kelompok yang masuk dalam kategori 'rakyat' dan 'musuh' bisa berubah-ubah tergantung dari perkembangan sosial masyarakatserta kepentingan politik dan persaingan kekuasaan di antara para elit partai. Oleh karena itu petinggi-petinggi partai seperti Peng Tehuai, Liu Shaoqi, Deng Xiaoping dll. Pernah berubah menjadi target demonstrasi massa karena 'pergeseran status' dari rakyat menjadi musuh.

Ideologi komunis membagi konflik yang tumbuh dari dalam masyarakat menjadi 3 (tiga): Pertama, ide-ide yang mempunyai relevansi permanen, yaitu masalah-masalahkontradiksi antagonistik; Kedua, ide-ide yang mempunyai relevansi cukup lama, diatasi melalui bimbingan dan koreksi; Ketiga,  ide-ide yang hanya relevan dalam tempo singkat, berlaku hanya pada kondisi tertentu.

Mao Zedong juga melontarkan konsep Revolusi Permanen yang dimaksudkan untuk menghindarkan institusionalisasi dan birokrasi revolusi yang dapat menghambat terwujudnya masyarakat sosialis dan komunis. Mao menginginkan dalam tahapan transformasi sosial dari era borjuis ke masyarakat sosialis-komunis, lingkungan dan semangat revolusioner tetap dipelihara guna mengikis habis pengaruh borjuis. Suatu revolusi harus segera diikuti dengan revolusi lain sehingga semangat tidak keburu menurun dan permasalahan tidak makin rumit dan membesar. Itu sebannya Mao terus menjaga momentum semangat revolusi dalam mewujudkan cita-cita ideologi Marxis-Leninis dan sekaligus mempraktekannya sesuai dengan kondisi di China dalam bentuk Maoisme. Dua gerakan revolusi Mao yang besar adalah Da Yue Jin dan Wenhua Geming (Revolusi Kebudayaan).   

Garis Massa atau kampanye yang menggunakan massa sebagai legitimasinya adalah pelibatan massa rakyat dalam semua pengambilan kebijakan partai/pemerintah yang terkenal dengan semboyan "Dari Massa Kembali ke Massa", yaitu suatu proses pengumpulan ide-ide dan aspirasi dari rakyat, kemudian dirumuskan dalam bentuk aturan/kebijakan dan dikembalikan lagi ke rakyat sebagai pedoman kerja.

Garis Massa dimaksudkan untuk mengecek jajaran birokrasi yang berlebihan serta mencegah rutinitas pekerjaan-pekerjaan dan jalannya institusi yang dapat mengarah ke tindakan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), yang dapat menjauhkan pimpinan partai dengan rakyat yang dipimpin. Dalam kenyataannya Garis Massa sering dijadikan alat/sarana bagi oknum pimpinan partai untuk memenuhi kehendak pribadi ataukelompoknya.

Teakhir, meskipun sarana produksi telah ditransformasikan dari kaum kapitalis-borjuis menjadi milik negara dan kolektif, serta dihapuskannya ketimpangan antara kapitalis dan pekerja maupun antara tuan tanah dan petani, para hard-liner PKC melihat potensi munculnya kelompok borjuis baru dari para manajer atau posisi pekerjaan tertentu pada sektor produksi maupun distribusi dengan ditetapkannya skala gaji secara bertingkat. 

Perbedaan gaji yang menimbulkan ketidakseimbangan penghasilan antar individu serta perbedaan jumlah dan jenis kerja ini dianggap sebagai 'hak borjuis' yang perlu dihapuskan.Untuk mencegah berkuasanya kembali kelompok borjuis, maka perangkat 'Diktator Proletariat' harus dibangun yang antara lain bertugas melakukan pembatasan terhadap pemilikan lahan pribadi, perdagangan di pedalaman serta insentif materi.

Bekasi,   Oktober 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun