Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagyo menyatakan bahwa keputusan pemerintah dalam proyek kereta cepat ini harusnya ditentukan secara fair dan lebih berhati-hati karena dapat mempengaruhi geopolitik hubungan antar negara. Saya menggarisbawahi pernyataan ini. Sejak Presiden China Xi Jinping menyampaikan slogan “China Dream” pada November 2012, kalangan pimpinan partai dan militer menterjemahkannya bahwa saatnya telah tiba bagi China untuk mendapatkan kembali posisinya sebagai bangsa adidaya, negara Pusat Dunia (Zhongguo/Tiongkok) melalui inisiatif double Silk Road, yaitu Silk Road Economic Belt (SREB) - pembangunan konektivitas darat melalui Asia Tengah dan Barat, serta 21st Century Maritime Silk Road (MSR) yang mengusahakan kerjasamanya dengan negara-negara tetangga berbatasan laut, utamanya anggota ASEAN.
Para pemimpin China menyadari bahwa kondisi geostrategis Asia Pasifik yang kondusif (baca: hubungan baik dengan negara-negara tetangga darat dan laut) akan dapat membantu mempercepat naik kelasnya China menjadi kekuatan global selevel dengan Amerika Serikat - satu-satunya negara adidaya setelah bubarnya pakta pertahanan blok Sosialis “Pacta Warsawa” pimpinan Uni Soviet akhir tahun 1990-an. Membangun hubungan spesial dengan Indonesia di kelompok jalur MSR serta Kazakhstan dari jalur darat SREB telah menjadi program utama China. Jika dua negara kunci tersebut telah dapat ‘dipegang’, maka ‘leverage’ China untuk mengimbangi Amerika Serikat sebagai Superpower dunia menjadi lebih kokoh.
Tingginya ketergantungan (baca: tanggungan hutang) Indonesia kepada China dengan sendirinya akan membatasi peran Indonesia sebagai ‘mediator’ yang selama ini dapat membantu meredam ketegangan akibat klaim tumpang tindih atas gugusan Kepulauan Spratly dan Paracel di Laut China Selatan antara China dan 4 anggota ASEAN: Brunei Darussalam, Malaysia, Philipina, Vietnam serta saling klaim atas Kepulauan Senkaku/Diaoyu di Laut China Timur antara China dan Jepang.
Proses serba cepat yang terkesan terburu-buru dalam mega proyek Kereta Cepat (High Speed Train) Jakarta-Bandung sepanjang 142,5 km dengan nilai US$ 5,5 milyar (setara Rp 76,4 trilyun) ini telah menimbulkan polemik dan spekulasi di masyarakat terutama para pemerhati yang mengkhawatirkan Presiden Jokowi telah dipengaruhi oleh pihak China dan mendapatkan masukan yang kurang proporsional dan sejumlah pembantunya di pemerintahan. Keputusan serba cepat memang agak kontras dengan karakteristik Presiden Jokowi yang terkenal santun dan berhati-hati.
Ketika menjadi Walikota Solo, Pak Jokowi dengan sabar melakukan pertemuan makan-makan sebanyak 54 kali dengan para pedagang yang akan direlokasi ke tempat baru. Dengan pemahaman yang mendalam terhadap falsafah Jawa: “Ojo Gumunan, Ojo Kagetan dan Ojo Dumeh”, seyogyanya Presiden Jokowi tidak mudah tertarik akan iming-iming investasi China (Ojo Gumunan), sebaliknya perlu melakukan analisis dari berbagai aspek sebelum proyek dijalankan (Ojo Kagetan), dan yang lebih penting lagi jangan menggunakan kekuasaan dalam memaksakan proyek strategis nasional yang menyangkut nasib rakyat banyak (Ojo Dumeh).
Mari kita ikut merasakan kebahagiaan dengan sahabat dan saudara-saudara kita yang merayakan tahun baru Imlek di tahun Monyet Api ini, tetapi harus tetap ‘eling lan waspodo’ dengan mengedepankan sikap ramah dan santun tanpa mengendorkan kewaspadaan dan kehati-hatian. Silahkan ikut menyaksikan pertunjukan barongsai sambil berpakaian tema merah-kuning emas, tetapi janganlah sekali-kali memakai baju monyet di tempat umum. Gong xi fa cai, xin nian kuai le.
Bekasi, 7 Februari 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H