Rajin membaca jadi pintar, malas membaca jadi ....
Akhir-akhir ini, kalimat di atas ramai digaungkan di media sosial, terutama di aplikasi Twitter. Kalimat yang tertera itu bukan marak tanpa sebab atau hanya sekadar asbun belaka, tetapi banyak faktor yang melatarbelakangi populernya jargon tersebut. Salah satu faktor kuat yang melandasi adalah viralnya kembali percakapan antara Najwa Shihab dengan Calon Wakil Presiden Indonesia, Gibran Rakabuming Raka pada acara Peresmian Pojok Baca yang diselenggarakan pada Senin, 16 Oktober 2017. Di dalam cuplikan video acara tersebut, Gibran mengatakan bahwa dirinya tidak suka membaca dan hanya senang membaca komik. Hal itulah yang menjadi kontradiksi di mata masyarakat Indonesia karena Gibran datang di acara "buku" bersama dengan Duta Baca Indonesia pada saat itu, sedangkan dirinya tidak menyukai kegiatan membaca. Dengan munculnya pernyataan tersebut, banyak netizen yang mulai mengaitkannya dengan kemampuan membaca masyarakat Indonesia, terutama siswa-siswi yang masih menempuh pendidikan wajib. Banyak hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintah dan masyarakat terkait pentingnya kemampuan membaca dan kegemaran membaca.
Kemampuan membaca atau literasi pada siswa di Indonesia berada di golongan yang rendah, bahkan mencapai kondisi yang miris pada tahun 2018, yaitu menempati ranking ke-62 dari 70 negara berdasarkan survei yang dilakukan oleh Program for International Student Assessment (PISA) yang dinaungi Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). PISA merupakan survei trienal siswa berusia 15 tahun di seluruh dunia untuk menilai pengetahuan dan keterampilan dalam kehidupan sosial dan ekonomi. PISA sendiri diselenggarakan setiap 3 tahun sekali, namun penilaian terakhir tidak dilaksanakan pada tahun 2021, melainkan 2022 dikarenakan kesulitan akibat pandemi Covid-19. Hasil PISA 2022 menunjukkan bahwa Indonesia mengalami kenaikan peringkat, yaitu naik 5-6 posisi dibandingkan sebelumnya. Akan tetapi, skor rata-rata dalam tiga kompetensi utama (membaca, matematika, dan sains) mengalami penurunan. Meskipun hasil dari PISA tidak mencangkup seluruh khalayak di Indonesia, tetapi hasil ini dapat menjadi tolok ukur, perbandingan, bahkan pembelajaran bagi pemerintah dan masyarakat untuk menanggulangi problematika "malas" membaca.
Merebaknya "penyakit" malas membaca bagi masyarakat Indonesia menjadi permasalahan yang tak kunjung usai. Banyak faktor yang memengaruhi rendahnya kemampuan membaca, seperti kualitas pendidikan dan minat baca yang rendah. Pendidikan di Indonesia masih didasarkan oleh kurikulum yang cenderung menggunakan metode teacher centered sehingga siswa menjadi pasif selama kegiatan belajar mengajar berlangsung. Persepsi terhadap kegiatan membaca juga masih dianggap sebagai salah satu mata pelajaran bahasa saja, bukan sebagai kemampuan yang harus dimiliki tiap individu. Untuk menanggulangi permasalahan tersebut, pemerintah membuat Program Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang salah satu programnya adalah membaca buku nonpelajaran selama lima belas menit sebelum waktu belajar dimulai (Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 21 Tahun 2015). Namun, menurut Tahmidaten dan Krismanto (2020: 29), kebijakan ini dianggap belum berhasil karena berdasarkan survei yang dilakukan pada awal 2017, masih terdapat sekolah yang belum melaksanakan kegiatan itu secara rutin, bahkan ada yang sama sekali belum melaksanakan kebijakan tersebut.
Penyebab lain yang tak kalah penting terhadap menurunnya literasi ini adalah minimnya sarana dan prasarana yang ada di Indonesia, terutama di daerah 3T (terluar, terdepan, tertinggal). Ketimpangan sarana dan prasarana ini dapat dilihat dari segi pendidikan dan ekonomi. Kurang meratanya pendidikan di Indonesia mengakibatkan banyak masyarakat yang kurang terbuka terhadap urgensi dari kemampuan literasi, begitupun dengan sarana dan prasarana yang tidak memadai, seperti fasilitas pendidikan yang tidak layak. Contoh nyata dari hal ini adalah begitu buruknya perpustakaan yang ada di daerah, baik dari segi bukunya maupun operasionalnya sehingga masyarakat menjadi terbatas dalam membaca buku dan kurang luas cakupan pengetahuan terhadap buku. Di sisi lain, ketimpangan yang terlihat dari segi ekonomi adalah kurangnya dukungan keluarga dalam menumbuhkan minat baca sejak ini karena ketidakmampuan orang tua untuk membelikan bahan bacaan.
Faktor-faktor yang telah disebutkan di atas saling berkesinambungan sehingga persoalan malas membaca menjadi urgensi yang perlu ditangani secara serius. Budaya malas membaca yang telah mengakar ini wajib diubah menjadi budaya gemar membaca sehingga stereotip masyarakat terhadap kegiatan membaca juga ikut berubah. Padahal, banyak sekali manfaat yang dapat diperoleh dengan dimilikinya kemampuan membaca, seperti menumbuhkan empati, mengasah kemampuan kognitif, memperluas kosakata, merangsang kreativitas, dan membuat otak menjadi lebih aktif. Selain itu, pemerintah dan masyarakat juga harus bekerja sama untuk meningkatkan minat baca dan menanamkan pemikiran bahwa membaca merupakan kegiatan yang menyenangkan.Â
Sumber:
Tahmidaten dan Krismanto, (2020). Permasalahan Budaya Membaca di Indonesia (Studi Pustaka Tentang Problematika & Solusinya). Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 10, No. 1, Hal. 22-33.
https://gpseducation.oecd.org/CountryProfile?primaryCountry=IDN&treshold=10&topic=PI, diakses pada 19 September 2024.
https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2023/12/peringkat-indonesia-pada-pisa-2022-naik-56-posisi-dibanding-2018, diakses pada diakses pada 19 September 2024.