Mohon tunggu...
Asri Satrianingrum
Asri Satrianingrum Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya menyukai suatu hal yang menyenangkan bagi saya. Tentu saja, kata "menyenangkan" terkesan begitu subjektif dan perkara ini tergantung bagaimana kalian mengimaninya masing-masing. Bagi saya, menyenangkan terbagi menjadi banyak hal yang random, seperti memasak telor mata sapi tidak gosong, menyelesaikan buku tebal, menamatkan series yang menegangkan, dan memotret kehidupan dari sudut pandang seorang saya (panggil saja Arum).

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Produktivitas Meningkatkan Kualitas atau Perasaan Was-Was?

3 Juni 2024   18:35 Diperbarui: 11 Juni 2024   00:03 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Produktivitas sering kali dihubungkan dengan sesuatu yang positif di dalam kehidupan masyarakat. Oleh karenanya, sebagian manusia berbondong-bondong ingin memiliki predikat "orang yang produktif" sebab menambah citra yang baik pada dirinya. Anggapan lain mengenai produktivitas juga dapat dilihat dari seberapa sibuk manusia tersebut dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Produktivitas merupakan kemampuan untuk menghasilkan sesuatu. Sesuatu yang dimaksud dapat berupa banyak hal tergantung dari apa yang dilakukan individu-nya masing-masing, misalnya pencapaian dari suatu perkara yang telah lama diusahakan atau keberhasilan setelah sekian lama mengalami kegagalan. Namun, situasi keproduktifan kerap berubah menjadi bencana dan berbahaya apabila dilakukan secara berlebihan. Keadaan ini dinamakan dengan toxic productivity atau toksik produktivitas.

Toksik berarti berkenaan dengan racun mengacu dari Kamus Besar Bahasa Indonesia. Sementara itu, produktif bersifat mampu menghasilkan terus dan dipakai secara teratur untuk membentuk unsur-unsur baru. Pada masyarakat, toksik sudah dicap sebagai perkara buruk sehingga berkontradiksi dengan produktivitas yang sudah melekat dengan karakter baik. Dalam hal ini, toksik produktivitas terjadi tanpa disadari dan dapat dianggap 'penyakit' karena dampak yang dihasilkan cenderung merugikan penderita.

Toksik produktivitas disebabkan banyak faktor bergantung pada tiap-tiap individu yang menderita. Tekanan di dalam lingkungan menjadi faktor yang paling dominan, terlebih lingkungan yang dimaksud mencangkup realitas sosial dan media sosial. Pada realitas sosial, pemikiran-pemikiran toksik yang muncul condong memengaruhi pola kegiatan yang sedang dijalankan. Sebagai contoh, terdapat pemikiran seperti "aku tidak boleh menganggur selama dua jam", pikiran tersebut akan menjadi masalah karena otak akan menstimulasi kepada tubuh untuk tidak boleh berhenti bekerja dan terus-menerus mencari pekerjaan baru sehingga secara tidak sadar, otak dan tubuh akan kelelahan. Ketika kedua unsur ini bermasalah, maka kinerja yang sedang dihasilkan menjadi tidak maksimal.

Di sisi lain, tuntutan di dalam media sosial biasanya timbul karena perasaan fomo atau fear of missing out. Kecemasan dan ketakutan akan ketinggalan momen yang sedang tren acap kali menimbulkan tekanan pada seseorang yang terlalu banyak menghabiskan waktunya di media sosial. Terlalu banyak melihat pencapaian orang lain di media sosial juga melahirkan ke-fomo-an yang berpengaruh terhadap pemikiran bahwa "aku harus memiliki pencapaian seperti orang lain". Jika sudah begitu, tekanan yang ada di dalam diri penderita akan semakin bertambah dan mengakibatkan kinerja yang berlebihan, sedangkan otak dan tubuh mempunyai kapasitas tertentu dalam menjalani fungsinya sehari-hari.

Orang yang menderita toxic productivity cenderung tidak menghargai waktu. Slogan "waktu adalah uang" menjadi terlalu serius diimani, padahal istirahat sejenak untuk merilekskan diri juga bagian dari penghargaan terhadap waktu dan sebagai upaya mengurangi toksik produktivitas. Adapun, penentuan prioritas juga menjadi unsur yang penting dalam upaya mengurangi ketoksikan ini. Sebelum melakukan suatu pekerjaan, alangkah baiknya untuk menentukan mana yang harus diutamakan sehingga tidak menyebabkan overwork pada tubuh.

Selain itu, apresiasi terhadap diri sendiri juga diperlukan sebagai upaya untuk menghargai diri sendiri karena telah bekerja sebaik mungkin. Ucapan terima kasih kepada diri sendiri juga berperan dalam membuang ketoksikan yang ada di dalamnya. Apabila masing asing untuk melakukan tindakan tersebut, maka negosiasi terhadap diri juga dapat dilaksanakan untuk mengetahui kemauan sebenarnya tanpa dipengaruhi oleh prahara lain yang mengganggu. Terakhir, bersyukur terhadap apa yang sudah dimiliki dan terhadap apa yang sudah terjadi menjadi urgensi karena dengan melakukan kegiatan tersebut, tubuh akan merasa dihargai dan pekerjaan yang selanjutnya akan dikerjakan menjadi lebih ringan dan maksimal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun