Berbicara mengenai mahluk kecil yang menggemaskan, kucing menjadi salah satu hewan yang masuk ke dalam kategori tersebut, bahkan berada di urutan top 5 teratas. Dilansir dari Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Perairan Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2021, populasi kucing di Indonesia mencapai 2,8 juta ekor, yang mana menjadi bukti bahwa kucing merupakan hewan yang populer di sini. Namun, kepopuleran ini menuai banyak pro dan kontra di kalangan masyarakat.Â
Anggapan ini bergantung pada sudung pandang tiap-tiap pribadi yang terbagi ke dalam tiga golongan, yaitu golongan pecinta kucing atau cat lovers, netral, dan tidak suka kucing. Bagi cat lovers, kepopuleran kucing merupakan salah satu hal yang menyenangkan dan bukan masalah yang besar. Bagi golongan netral, keberadaan kucing tidak terlalu memengaruhi hidupnya dan cenderung tidak peduli terhadap perkembangan dunia kucing. Sementara itu, bagi golongan yang tidak menyukai kucing, hewan ini dianggap sebagai ancaman karena rasa takut yang dominan terhadap mahluk tersebut. Terlepas dari pemikiran-pemikiran tersebut, kini kucing liar menghadirkan problematika baru pada kancah global.
Permasalahan muncul ketika tingkat natalitas kucing liar semakin meningkat. Kucing merupakan hewan polystrous dan memiliki siklus birahi seasonal polystrus, artinya siklus birahi kucing betina dapat terjadi berulang kali atau lebih dari dua kali dalam kurun waktu satu tahun. Selama setahun tersebut, satu kucing betina dapat beranak 1-3 kali dan jika ditotalkan, terdapat 40 ekor anak kucing selama 5 tahun masa hidupnya (Kennedy et al., 2020). Bayangkan saja jika terdapat 10 kucing, maka dalam jangkauan lima tahun, lahirlah 400 anak kucing dalam suatu wilayah.Â
Kucing akan mengalami anestrus, yaitu berhentinya hormon reproduksi atau hormon tersebut akan beristirahat ketika musim gugur dan musim dingin atau awal musim hujan di Indonesia. Dengan demikian, terjadilah overpopulation atau populasi yang berlebihan dalam waktu yang singkat dan wilayah yang sempit.
Overpopulation pada kucing liar menimbulkan masalah baru di lingkungan masyarakat. Kurang terkontrolnya kelahiran kucing menjadi permasalahan global terkait aspek animal walfare dan resiko penularan penyakit zoonosis (Flockhart dan Coe, 2018). Animal walfare atau kesejahteraan hewan sendiri ialah keadaan hewan yang kebutuhan hidup alaminya terpenuhi (Rollin, 1993), kesejahteraan ini terdiri atas (1) bebas dari lapar dan haus, (2) bebas dari ketidaknyamanan, (3) bebas dari rasa sakit, celaka, dan penyakit, (4) bebas mengekspresikan tingkah laku yang normal, dan (5) bebas dari rasa ketakutan dan stress (Farm Animal Welafre Council UK, 1993). Apabila jumlah kucing semakin meningkat dan ketersediaan pangan semakin menurun, maka mengakibatkan ketidakseimbangan terhadap rantai hidup kucing itu sendiri, serta tidak terpenuhinya unsur kesejahteraan hewan. Di samping itu, kenaikan populasi kucing liar juga membawa dampak bagi kehidupan manusia yang kerap kali berinteraksi langsung dengan kucing, yaitu resiko penularan penyakit zoonosis.
Penularan penyakit zoonosis pada manusia terjadi sebab interaksi manusia dengan kucing liar yang semakin meninggi sehingga meningkatkan resiko zoonosis, seperti cacing tambang Ancylostoma tubaeforma, Toksoplasmasis (Kennedy et al., 2020). Infeksi cacing tambang pada manusia menimbulkan ruam kulit yang gatal sebagai gejala paling umum. Cacing yang menginfeksi tubuh juga mengakibatkan anemia karena kehilangan darah di usus sehingga sel darah merah dalam tubuh berkurang. Sementara itu, Toksoplasmasis merupakan infkesi akibat parasit Tozoplasma gondii yang penularannya melalui kotoran kucing atau karena mengonsumsi makanan yang terkontaminasi parasit T. gondii. Penyakit ini tidak menimbulkan gejala dan menyerang pada manusia dengan daya tahan lemah. Namun, pada beberapa kasus, gejala muncul setelah cacaing berhasil menginfeksi tubuh, seperti demam, nyeri otot atau mudah lelah. Di sisi lain, ibu hamil juga gampang terpapar penyakit ini yang menyebabkan janin mengalami gangguan pertumbuhan, prematur, bahkan keguguran.
Overpopulation kucing liar dapat ditangani dengan beberapa upaya, seperti kontasepsi, sterilisasi, dan euthanasia (Aryanti dan Romadhiyanti, 2021). Di antara tiga cara tersebut, sterilisasi dianggap metode paling efektif untuk menangani permasalahan ini. Sterilisasi merupakan metode pengangkatan alat atau organ reproduksi baik jantan maupun betina. Tindakan ini dilakukan sebagai upaya menghindari kelahiran yang tidak diinginkan sehingga mencegah penambahan populasi kucing liar. Selain itu, ada yang beranggapan bahwa tidak memberi makan kucing liat atau stray cat feeding juga merupakan upaya yang dapat dilakukan guna mencegah berkurangnya insting kucing dalam berburu mangsanya. Namun, stray cat feeding ini masih menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat. Masih banyak yang beranggapan bahwa memberi makan pada kucing liar bukan merupakan tindakan yang salah, tetapi sebagian masyarakat juga beranggapan bahwa hal tersebut dapat merusak tatanan ekosistem yang telah terbentuk.Â
Setelah membaca artikel ini, bagaimana pendapat teman-teman mengenai hal ini? Yuk, berdiskusi!
Sumber: Prayoga, F. S. dkk. 2021. Ovariohysterectomy pada Kucing Liar. Jurnal Ovozoa 10. Nomor 3. Halaman 98-104.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H