Ingat kan dulu waktu SD dan SMP, mungkin SMA juga? Setiap menjelang bulan Ramadhan dibagikan buku kegiatan Ramadhan dari sekolah. Seingat saya hal itu berlangsung sejak saya kelas 5 SD atau tahun 1997-an.
Isinya kurang lebih:
Di halaman-halaman awal berisi sedikit materi tentang Ramadhan dan berbagai amalan yang biasa dilakukan di bulan tersebut. Kemudian, terdapat halaman-halaman untuk diisi dengan amalan yang kita lakukan selama Ramadhan. Biasanya sudah tersedia kolom-kolom sesuai dengan jenis amalannya, misalnya kolom shaum, shalat tarawih (plus kolom tanda tangan imam), shalat rawatib, tilawah Al-Qur'an, dan lain-lain yang tinggal kita ceklis sesuai tanggal jika kita mengerjakannya. Tersedia juga halaman-halaman untuk mencatat materi ceramah dan kolom tanda tangan pemberi ceramah.
Buku kegiatan tersebut tentu tujuannya baik, agar kegiatan para siswa lebih terarah pada bulan Ramadhan. Namun disadari (atau tidak?), buku tersebut bisa menjadi beban tersendiri buat para siswa, mungkin tidak semua siswa, saya berpendapat sesuai dengan yang pernah saya alami. Bagi yang memang aslinya rajin beribadah dan memiliki pemahaman agama yang baik, tentu tidak khawatir, isi buku mereka akan lebih jujur. Tapi, yang banyak juga terjadi, pada akhirnya siswa berani berbohong demi buku kegiatan Ramadhan mereka terlihat cantik, dengan mengada-adakan yang tidak ada, dengan mengaku-ngaku mengerjakan kegiatan yang tidak dikerjakan. Contek menyontek materi ceramah pun menjadi biasa menjelang buku tersebut dikumpulkan.
Hal tersebut terpaksa dilakukan demi mendapat nilai yang baik dari guru agama, dengan mengesampingkan nilai-nilai kejujuran yang tidak bisa diukur dengan angka-angka di atas kertas.
Yang dirasa salah disini, yang juga saya rasakan dulu, biasanya buku kegiatan ini dibagikan begitu saja kepada siswa tanpa 'kata-kata pengantar' dari gurunya, setidaknya sedikit penjelasan tentang tujuan buku tersebut, sehingga siswa tidak terjebak pada pemahaman bahwa buku itu sekedar untuk mendapatkan poin plus pada mata pelajaran agama. Lebih dari itu, tanggung jawab terbesar adalah kepada Allah SWT.
Peran orangtua sebenarnya besar dalam hal ini. Maka dari itu di buku ini biasanya juga ada kolom tanda tangan orangtua sebagai bentuk tanggung jawab atas apa yang dilakukan anaknya. Tapi sekolah pun seharusnya sadar betul bahwa setiap anak datang dari keluarga dengan latar pemahaman agama yang berbeda. Bahwa tidak semua orangtua mendidik anaknya dengan landasan agama yang kuat.
Jika sekolah merasa harus memantau kegiatan siswanya selama Ramadhan, mungkin akan lebih efektif jika kegiatan Ramadhan juga dihidupkan di sekolah. Misalnya dengan mengadakan kajian keislaman pada jam istirahat, melaksanakan shalat fardhu berjamaah, pesantren kilat pada akhir minggu, mengumpulkan sedekah untuk anak yatim, dan kegiatan-kegiatan lain yang bisa dilakukan secara berjamaah di sekolah.
Melalui kegiatan-kegiatan tersebut, pihak sekolah dapat secara langsung menanamkan pemahaman kepada siswa tentang keutamaan ibadah-ibadah di bulan Ramadhan, sehingga di luar sekolah, para siswa diharapkan menjalankan ibadah Ramadhan dengan kerelaan hati tanpa beban dan paksaan.
Jadi, buku kegiatan Ramadhan sebenarnya tidak perlu ada kan? Dan uang pengadaan buku tersebut bisa dialokasikan untuk kegiatan pendidikan lain yang lebih bermanfaat. Karena mubadzir rasanya jika pengadaan buku itu tidak digunakan sebaik-baiknya oleh sekolah untuk pendidikan akhlak peserta didiknya. Lebih mubadzir lagi jika buku tersebut bahkan tidak dievaluasi oleh guru ybs. Jika dipikir lebih jauh lagi, pengadaan buku itu pun bisa menjadi ladang subur untuk orang-orang yang tidak jujur. Hush ... Nggak boleh suudzan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H