Mohon tunggu...
Asri Nur Aini
Asri Nur Aini Mohon Tunggu... -

Mahasiswi Indonesia yang dideskripsikan di cahayamatadanhati.wordpress.com hm.. alhamdulillah, hidup itu indah!

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Indonesia dalam Opera van Java

29 Januari 2010   09:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:11 777
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tayangan yang ditunggu di tiap jam utama atau prime time ini menyuguhkan hiburan yang lain dari biasa. Minat masyarakat terhadap konsep baru cerita komedi bernama Opera van Java terbilang cukup tinggi. Saat ini, Opera van Java menjadi agenda domestik bagi keluarga. Di sisi lain, OVJ merupakan salah satu produk industry budaya yang mencoba mengambil tantangan globalisasi media, yang berimbas pada banyak gejala terutama persoalan budaya Indonesia.

Mengemas kesenian tradisional yang dibuat pop memang bukan fenomena baru bagi pertelevisian negeri kita. Sejak media komersial merajai cultural industry, kita disuguhkan acara hiburan baik lenong, ketoprak, ludruk, wayang dengan konsep baru yang memikat dua generasi, tua dan muda. Berbicara media komersial, maka bukan berarti acara ini dibuat semata-mata beritikad baik melestarikan budaya tradisional. Kesadaran pentingnya memahami mekanisme pasar akhirnya menggagas ide baru bagi industry media, yakni bagaimana mencipta konsep yang dapat meraih keuntungan besar. Yaitu, acara hiburan harus dapat dipahami segala usia dan diminati semua kalangan. Akhirnya, acara hiburan komedi masih menjadi jagoan yang mampu menjawab kedua permintaan tersebut.

Kendala awal adalah selera hiburan yang berbeda antara dua generasi. Konsep ketoprak asli tidak dianggap menarik bagi generasi muda, yang justru diminati bapak-ibu dan kakek nenek kita. Kendala pertama, yakni rasa tidak betah anak muda dalam menyimak lakon legenda masa lalu karena dialog yang sulit dipahami. Kedua, selera musik yang terlanjur dianggap kuno yang tidak mampu merepresentasikan jiwa kemudaan saat ini, yang dimainkan oleh alunan gamelan dan lagu tradisional yang dibawakan sinden. Bertolak dari konsep semiologi, disini terjadi masalah pada sistem penanda meliputi bahasa dan musik bagi dua generasi ini. Untuk itu, media komersial akhirnya memberi perhatian terhadap persoalan ini.

Pemecahan Opera van Java terhadap kedua permasalahan ini akhirnya mencetuskan musik dwi warna (semacam pastiche campuran antara musik pop nasional dengan musik tradisional) baik dalam bentuk dan pola music maupun gaya menyanyi atau bahasa. Sinden dibuat layaknya vokalis yang menyanyikan lagu pop yang diminati kaum muda. Tabuhan gendang, dentingan saron, dan tiupan suling menjawab kerinduan bagi generasi tua terhadap seni tradisional. Nilai lebih juga tampak manakala artis idola bagi kaum muda mengenakan pakaian tradisional, dan berdialog drama dengan latar romantisme tempo dulu. Inilah sebuah padu padan yang menyelaraskan selera dua generasi.

Selanjutnya adalah perihal bahasa yang menjadi pakem bagi kesenian tradisional Jawa, yang mau tidak mau menggunakan bahasa daerah. Tentu saja konsep ini tidak bisa dipertahankan bagi media komersial. Artinya, pasar hanya bisa menjangkau suku tertentu, sementara konsep economic of scale menyatakan bahwa produk yang dihasilkan harus merangkul massa yang luas guna meraih profit yang besar. Sehingga, dialog yang menjadi pengantar acara Opera van Java menggunakan bahasa Indonesia, yang mampu dipahami oleh jutaan pemirsa tanah air. Akhirnya, permasalahan mengenai kelompok usia dan kalangan tertentu akhirnya dapat diatasi oleh media komersial.

Kita tak bisa memungkiri, pengaruh globalisasi menjadi niscaya,dan kesenian tradisional pun mendapat imbasnya. Seni yang terobyektifasi oleh mekanisme pasar menjadi suguhan bagi kita. Ada bagian-bagian yang terasing (alienasi) karena sudah tidak laku lagi. Sebagai contoh, estetika nada, melodi, syair dari tembang yang seharusnya dibawakan para sinden. Lagu-lagu tradisional Jawa diubah menjadi lagu pop khas bentukan perusahaan multinasional, yang sedang trend, atau sudah populer bagi kaum muda. Jika kekurangan stock lagu pun, boleh mengambil lagu barat yang diaransemen sedemikian rupa. Akhirnya, kita pun tak sempat mengenal nuansa yang telah diciptakan sang seniman yang mencipta kreasi tradisional ini secara murni. Alienasi yang terjadi sudah jelas terlihat, karena konsep yang baru telah mengasingkan suatu tata cara sebuah kesenian drama tradisional bernama ketoprak. Penghayatan yang dilakukan artis terhadap karakter tokoh tertentu tidak lagi menjadi penting. Improvisasi sang actor secara tiba-tiba pun diperbolehkan, cukup dengan solusi peleraian dari dalang. Peran dalang yang duduk, membimbing penonton untuk hanyut dalam cerita juga diubah. Dalang yang membuat keanehan dan melenceng dari hal yang menjadi “aturan“ peran seorang dalang justru menjadi hal yang ditunggu penonton.

Selanjutnya, bahasa yang menjadi pengantar acara ini menguatkan terjadinya creolization selain bahasa menjadi pihak yang teralineasi. Kita tidak sempat mendengar bahasa Jawa krama, bahasa keraton,atau bahasa wayang dalam acara hiburan ini. Jika berniat, maka mencarinya di media televisi komersial bukanlah sebuah pilihan. Kita mungkin hanya mampu menikmatinya di acara kenegaraan, atau pentas yang digelar sewaktu-waktu. Terkait dengan bahasa kreol, penonton dapat menyimak bahasa campur antara bahasa daerah-gaul-asing- maupun salah kaprah. Mau tidak mau, hal tersebut merupakan imbas dari globalisasi, dan komersialisasi. Tidak hanya dalam bahasa percakapan, tapi juga lirik lagu yang dibawakan.

Cultural product berupa acara hiburan yang bersifat intangible atau tak nampak, merupakan bentuk komersialisasi yang menjanjikan. Hiburan komedi ala Opera van Java pun tiada menemui konsistensi ke Javaan nya dikarenakan tuntutan pasar yang harus menjangkau berbagai kalangan dan kelompok generasi. Kita memang tak bisa hengkang dari post kapitalisme semacam ini, yang terus melakukan aneksasi budaya, khususnya lewat televisi. Menjadi ujung dari pembicaraan ini adalah, jangan sampai bermuncullan generasi-generasi lengah karenanya. Yakni, dengan pasrah mencipta realitas-realitas hasil dikte skenario media komersial dalam bayangan globalisasi…

Thanks:

catatan Hokky Situngkir (2002) Musik dan Anak Muda

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun