Seremonial wajib menjelang lebaran yang hanya terjadi di Indonesia, yah,,itulah tradisi mudik. Tradisi menarik yang begitu unik. Berpuluh-puluh kilo jalan kan dilewati, samudera kan diseberangi, gunungpun di daki (beuhh,, dah seperti penyair saja,hehe). Sejatinya mudik itu akan selalu dilakukan setiap orang yang berjauhan keberadaan dengan kampung halaman. Ada rasa yang tak biasa ketika bisa melepaskan rindu yang luar biasa kepada orang-orang tercinta, orang tua yang dengan kata-kata kita tidak bisa mengungkapkan betapa begitu hebatnya mereka.Bertemu dengan saudara, handai taulan yang mungkin hanya bisa kita temui di moment special ini, lebaran. Faktor kesibukan, jarak dan faktor-faktor lain yang kita jadikan sebuah alasan. Walaupun kegiatan bersilaturahmi entah apapun namanya bisa juga kita lakukan, ketika mempunyai kemauan yang kuat. Dan tetap saja sebuah pengandaian ‘tak lengkap lebaran kalau belum mudik’ memang benar adanya.
Secara pribadi, saya belum mengalami apa yang namanya mudik. Bukan karena anti mudik dengan hingar bingar kemacetan, kepanasan, kecapekan yang dirasakan. Bukan pula dengan mudik atau tradisi pulang kampung harus menyiapkan ‘amunisi-amunisi’, sehingga orang sekampung akan tau dan membenarkan, “Oh ternyata si anu sekarang sudah sukses setelah merantau di kota besar itu”. Fenomena mudik ini tidak akan saya alami, minimal saat ini, lha wong domisili saya dekat dengan rumah, yang mana tempat kerja saya bisa ditempuh hanya dengan waktu 1 jam. Kalau mau pulang, pulang saja, bisa dilakukan seminggu sekali pas week end.
Dan bisa dipastikan ketika musim mudik tiba, ibu kota akan ‘berpindah’ ke daerah. Berjubel-jubel plat B ataupun plat luar kota berjalan beriringan seperti iring-iringan pengantin. Yang biasanya lancar jaya kemudian muncul kata padat merayap terutama mendekati trafight light, antrian itu akan jelas terlihat.
Yang naik keretapun hendak tak mau kalah, jika tak ingin melewatkan di tanah kelahiran harus booking tiket jauh-jauh hari, sebulan sebelumnya. Dan jika tiket belum di tangan maka harus merelakan membayar dua kali lipat dari calo atau memutar otak untuk mencari alternatif akomoda lain.
Kenapa semua ini bisa terjadi? begitu luarbiasanya daya tarik kampung halaman. Dimana memori-memori di masa kecil terlahir dari sana, dengan kakak, adik, teman-teman sepermainan, teman-teman sekolah. Dan mungkin penggalan lagu “…disana tempat lahir beta, dibuai dibesarkan Bunda….” merupakan salah satu dari sekian alasan berduyun-duyun orang harus mudik.
Selamat bermudik ria…
Salam-salaman :))
Sumber gambar: http://cms.jakartapress.com/files/kartun/201208/karikatur mudikkk
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H