Peristiwa Bupati Aceng cukup menyentak sebagian besar masyarakat Indonesia terutama kaum perempuan bahkan Sby pun sempat memberi perhatian yang serius. Diskusi antara pembelahak kaum perempuan dan seorang professor pemerhatisosial yang disusul dengan wawncara terbuka dengan pembela Bapak Bupati sangat jelas memperlihatkan bagaimana pandangan seorang ahli hukum terhadap norma dan etika sosial yang berlaku dimasyarakat.
Pengacara dan petugas kebanyakan hanya menyandarkan diri pada hukum tertulis saja tanpa memperhatikan rasa keadilan sebagian masyarakat, berkali-kali sang pengacara pembela Aceng mengajukan pertanyaan tentang sangsi hukum apa yang bisa diberikan pada Bupati Aceng kepada sang professor dan Ibu pemehati hak kaum perempuan itu, tapi nampaknya mereka tergagap untuk menjawab, padahal terasa benar bahwa masyarakat ingin menjatuhkan sangsi sosial kepada Bapak Bupati .
Sangsi sosial bisa lebih ringan daripada sangsi hukum tapi bisa juga menjadi lebih sadis misalnya; maling ayam yang tertangkap basah bisa saja mati digebukin massa,yang tentunya lebih berat dibanding sangsi hukum yang akan dijatuhkan pengadilan.
Pengacara itu juga membicarakan tentang hukum agama Islam bahwa semua sah dilakukan jika dilihat dalam kaca mata hukum Islam,kira-kira apakah benar seperti itu yang dimaksudkan oleh hukum Islam ?beliau dengan pongah menyatakan bahwa bapak professor itu bukan ahli hukum jadi tak usah berbicara mengenai masalah hukum.
Apakah Bupati Aceng melanggar hukum atau tidak semuanya tentu kembali kepada para ahli dan petugas hukum yang berwenang, pengetahuan Agama Islam BupatiAceng pastilah lebih tinggi darisaya dan sebagian besar kompasioner, tapi perasaan sebagai mahluk sosial yang hidup di Indonesia tetap menganggap bahwa itu adalah suatu pelanggaran norma.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H