Mohon tunggu...
Asril Mandala
Asril Mandala Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Makassar

Senantiasa Menjadi Pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Guru Honorer: Dipaksa Ikhlas saat Perut Berbunyi Keras

9 Oktober 2024   16:01 Diperbarui: 9 Oktober 2024   17:57 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source: Google Image

Di tengah segala upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, selalu saja ada yang bisa disoroti, tidak terkecuali persoalan guru. Guru adalah pilar utama dalam bangunan yang kita sebut sebagai pendidikan. Kuat tidaknya bangunan itu amat bergantung pada pilar yang menopangnya. Oleh karenanya ketika berbicara masalah pendidikan maka tidak terlepas pembahasaan tentang masalah yang dihadapi oleh guru.

Baru-baru ini diperingati Hari Guru Internasional yang jatuh pada 5 Oktober namun terkesan biasa-biasa saja ditambah harus tertutupi oleh euforia HUT TNI yang juga di hari yang sama, yang oleh presiden-presiden sebelumnya selalu dirayakan secara meriah dan melibatkan banyak media massa sehingga semua perhatian akan tertuju kesana. Tidak ada lagi pengkajian ulang terkait dengan masalah yang dihadapi oleh guru. Padahal, masalah yang dihadapi guru kita tidak kunjung tuntas, kekal, bertumpuk dan tak tahu dimana ujungnya.

Dengan segudang permasalahannya, muncul stigma bahwa profesi guru tidak lagi dipandang sebagai profesi yang prestisius. Tidak ada lagi anak-anak yang ketika ditanya tentang cita-citanya mengatakan ia ingin jadi guru. Fakultas-fakultas keguruan juga dianggap sebagai pelabuhan terakhir calon mahasiswa ketika ditolak di fakultas favoritnya. Bukannya apa-apa, ketidakpastian nasib dan rendahnya kesejahteraan selalu menjadi momok yang menakutkan bagi para calon guru.

Menurut Darmaningtyas berdasarkan penuturan beberapa ahli, gaji guru di indonesia sangat rendah. Bukan hanya dibandingkan dengan negara lain, tapi secara relatif jika dibandingkan dengan beban tugas yang diterima. Oleh karena itu jelaslah bahwa pedoman rendahnya gaji guru bukan hanya pada perbandingan besaran yang diterima dengan guru negara lain tetapi beban tugas yang besar yang harus diterimanya. Itu gaji guru secara umum, jika spesifik guru honorer lebih parah lagi. Di beberapa daerah, gaji guru honorer bahkan di bawah UMR. Misalnya, Jawa Pos memberitakan, seorang guru honorer di Jawa Barat hanya menerima gaji Rp 300.000 per 3 bulan, jumlah ini bahkan lebih rendah dari gaji buruh kasar.

Terbaru, diberitakan sharinghappiness.org. Pak Alvi seorang guru honorer berumur 57 tahun di Sukabumi yang harus kerja sampingan menjadi pemulung untuk mencukupi kebutuhannya. Sudah 36 tahun beliau mengabdi sebagai guru honorer, bukan tak ingin diangkat, namun nasib kurang berpihak pada Pak Alvi. Beliau sudah mengikuti tes sebanyak 8 kali namun gagal. "saya tidak malu menjadi pemulung, karna ini halal demi bisa mencukupi kehidupan biaya sehari-hari, kalau mengandalkan gaji mah dipakai ongkos anak sekolah juga abis, itupun dikasih gajinya kadang bisa 2 bulan sekali" ucap Pak Alvi sambil tak bisa menahan air mata yang terus mengalir di matanya.

Mirisnya, ketika para guru honorer mulai memperjuangkan nasibnya, "pahlawan tanpa tanda jasa" justru semakin bising diteriakkan. Guru honorer selalu dinina bobokan oleh jargon itu. Guru honorer kita dipaksa diam dan menerima nasibnya, disaat ia tidak tahu harus makan apa hari ini. Dia dipaksa ikhlas disaat perutnya berbunyi keras. Dipaksa serius dengan tugasnya, dengan gajinya yang bercanda. Dipaksa sabar karena nantinya dapat ganjaran pahala saja.

Bahkan belum kering diingatan kita, salah satu mentri pendidikan mengatakan "Saya agak yakin, bahwa orang yang pertama masuk surga itu adalah guru. Kalau sekarang gaji guru sedikit, apalagi guru honorer, sykuri dulu nikmati yang ada. Nanti masuk surga"(detiknews). Padahal mendapat kunci surga itu satu soal, dan soal yang lain adalah setiap guru berhak bahagia dan sejahtera.

Terakhir, memang profesi guru secara filosofi merupakan pekerjaan yang berasaskan pada panggilan jiwa dan hati nurani. Namun, pahamilah bahwa guru juga manusia, olehnya perlakukanlah beliau selayaknya manusia yang juga butuh makan dan penghidupan. Dengan pengorbanan besar yang menghabiskan hampir seluruh waktunya dengan mengerahkan perhatian, tekad, dan semangat perjuangan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Lalu, dengan tuntutan sedemikian besar itu, apakah guru tidak berhak untuk sekedar hidup dengan layak?

Selamat Hari Guru Internasional

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun