Kemenangan Anas Urbaningrung (AU) dalam Kongres II Partai oleh pengamat dimaknai sebagai kemenangan politik hati melawan politik pencitraan yang diasosiasikan kepada Andi Mallarangeng (AM). AU dalam melakukan kegiatan politiknya diidentikan menjalankan politik hati nurani yang penuh dengan kesantunan sebagai bagian fatzoen politik timur dibandingkan dengan AM yang menjalankan politik pencitraan yang seolah-olah politik modern (baca politik Amerika/Barat).
Pada kongres II Demokrat tgl 21-23 Mei 2010 bertempat di Padalarang Bandung, AM yang selama ini dijagokan oleh pengamat dan media justru keok di putaran I. Kekalahan AM tersebut bukan karma, tetapi semata-mata karena behavioralis politic AM selama ini. Ada beberapa faktor yang menyebaban suara AM yang sebelumnya mengklaim didukung 80% suara tetapi realitasnya hanya didukung 82 suara.
Pertama: AM adalah Doktor Ilmu Politik jebolan Amerika yang selalu menganggap warga Indonesia memiliki behavioralis choice yang sama dengan pemilih Amerika. Kekalahan dalam kongres kedua Demorat dan gagal menjadi Anggota DPR Periode 2004-2009 dari PDK merupakan bukti alasan tersebut walau dalam konteks yang berbeda.
Kedua: AM merupakan sosok yang memiliki karakter yang sangat percaya diri. Saking percaya dirinya saat kompetitor lainyaa AU dan Marzuki Ali (MA) sudah melakukan investasi dan membangun komunikasi dengan pemilik suara Demokrat sejak lama, AM nanti dua bulan belakangan ini baru melakukannya. Padahal kalau mau memanfaatkan posisinya sebagai juru bicara SBY yang selalu berkunjung kedaerah, kesempatan tersebut bisa dimanfaatkan untuk membangun komunikasi kepada pengurus DPD dan DPC tetapi AM tidak lakukan.
Ketiga: selama persiapan menjelang Kongres AM memilih dekat dengan media ketimbang dengan pemilik suara, hal ini terlihat dengan menjalankan politik model pencitraan lewat media dengan berita dan iklan. AM memilih serangan udara daripada serangan darat, AM seolah-olah lupa bahwa yang memilih adalah DPC bukan masyarakat.
Keempat: keterlibatan lembaga konsultan politik miliknya (Fox Indonesia) selama pemilihan presiden 2009 diklaim memiliki peran yang sangat besar dalam memenangkan SBY-Boediono, sehingga membuat inner cycle Demokrat seolah-olah diabaikan perananannya. Hal ini akan menjadi kekhawatiran bagi pengurus Demokrat baik DPP, DPD maupun DPC bilaman AM yang menjadi Ketua Umum Demokrat, maka mereka akan “tersingkirkan” dalam setiap kontestasi baik pemilihan kepala daerah ataupun dalam pemilihan legislatif dan presiden 2014.
Kelima: kekalahan AM dan MA sebahagian orang menganggap kemenangan suku mayoritas di Indonesia mengingat yang bertarung bukan hanya personal para kandidat tetapi juga pertarungan daerah asal kandidat. Walau Partai Demokrat membantah bahwa dalam sistem politik modern, politik kaula dan parochial sudah bukan lagi jamannya tetapi tidak bisa dipungkiri model politik seperti itu masih dianut oleh sebahagian masyarakat Indonesia. Analisa ini berangkat dari pemikiran bahwa pertarungan Ketum Demokrat 2010-2014 dianggap sebagai pertarungan untuk posisi capres Demokrat tahun 2014.
Ini hanya analisa sederhana dari orang yang peduli terhadap sistem politik Indonesia. Semoga kegagalan ini dimaknai sebagai bentuk pembelajaran untuk langkah kedepan. Tetap berjuang untuk rakyat Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H