Sebulan lalu saya berkunjung ke Distrik Samenage, salah satu Distrik di Kabupaten Yahukimo Provinsi Papua. Untuk menjangkau distrik ini, kami mencarter pesawat AMA pulang pergi 16 Juta rupiah. Distrik ini terdiri dari sembilan kampung dan hanya ada satu sekolah, yaitu Sekolah Dasar Inpres Samenage. Siswanya berjumlah 200 orang, yang terdiri dari 7 kelas karena kelas 1 jumlahnya banyak sehingga dibagi dalam 2 kelas. Fasilitas pendidikannya relatif lengkap meskipun di ruangan kelasnya, wakil Presiden Republik Indonesia adalah Try Sutrisno. Hanya ada satu guru honorer yang mengajar bernama Leo Esema, anak asli kampung setempat yang berijasa SMA. Leo mengaku mengajar semua mata pelajaran sesuai dengankemampuannya saja. Sebenarnya ada dua guru lain termasuk Kepala sekolah yang juga mengajar di tempat ini. Tetapi mereka sudah lama meninggalkan tempat tugas. Menurut informasi dari masyarakat, keadaan ini sudah disampaikan ke Dinas P dan P Kabupaten Yahukimo namun tidak kunjung mendapat tanggapan.
Yang memprihatinkan adalah, Leo mendapat gaji satu juta perbulan yang diterimanya setiap 3 bulan. Gaji itupun diambilnya di Dekai Ibukota Kabupaten Yahukimo dengan berjalan kaki sehari semalam dari Samenage ke Wamena, lalu dari Wamena menuju Dekai menggunakan pesawat Trigana dengan harga tiket 450 ribu rupiah. Jika dihitung pulang balik belum termasuk Akomodasi, Leo sudah menghabiskan 900 ribu rupiah. Tidak hanya itu, selama seminggu kami berada di sekolah ini, kami melihat bahwa Leo memiliki kemampuan terbatas. Beberapa hal yang diajarkannya ke murid-murid salah, misalkan saat mengajar agama Dia menulis Pemimpin tertinggi Gereja Katolik adalah Uskup atau saat saya mewawancarainya tentang cara mengambil gaji, dia menjawab begini “...dari Wamena saya membayar tiket ke Dekai 450 ribu, pulang balik 500..” Kami sangat memaklumi keadaan itu karena mungkin saja Leo juga tidak melalui proses pendidikan yang layak seperti anak-anak yang diajarkannya. Akibat situasi ini, ditempat ini banyak anak putus sekolah. Orang tua lebih memilih mengawinkan anak-anak terutama perempuan. Dari cerita masyarakat, belum ada anak perempuan dari tempat ini yang melanjutkan sekolah ke SMP.
Jika itu terjadi di Yahukimo yang terletak di wilayah pegunungan yang hanya bisa dijangkau dengan pesawat daan berjalan kaki, lain lagi cerita dari Kabupaten Keerom yang dengan mudah dijangkau dengna kendaraan roda dua dan roda empat dari Kota Jayapura. DI SD Inpres Kibay Distrik Arso Timur Kabupaten Keerom, sama sekali tidak ada Guru. Tetapi disana terdapat puluhan tentara dan Kopasssus. Waktu saya berkunjung ada 20 tentara dan 6 kopassus. Karena tidak ada guru, siswanya terpaksa dipindahkan ke SD Inpres Yetti. Mereka setiap hari diangkut menggunakan truk perusahaan sawit lalu sore baru pulang mengikuti jam pulang pekerja sawit. Kepala Distriknya bernama Malen Musui mengatakan bahwa hal ini terpaksa dilakukan karena tidak kunjung ada tanggapan dari Dinas P dan P Kabupaten Keerom. Kondisi sekolah tanpa guru seperti ini juga terjadi di wilayah lain di Keerom. Kebanyakan bukan karena guru tidak ada tetapi guru tidak datang mengajar.
Dua situasi di atas terjadi di banyak wilayah di Papua dan mudah sekali ditemukan. Dari semua cerita itu yang ingin saya katakan bahwa: Pertama, masalah pendidikan di Papua bukan hanya soal jumlah guru yang kurang tetapi juga rendahnya komitmen pemerintah untuk mengawasi dengan serius proses pendidikan di sekolah-sekolah termasuk pengawasan terhadap guru-guru yang sudah ditempatkan. Ada pengabaian terhadap situasi ini baik Pemerintah Pusat di Jakarta hingga di Kabupaten-kabupaten. Kedua, bahwa keadaan ini membuat banyak anak putus sekolah. Saya yakin untuk ini pemerintah tidak punya data yang rinci jelas tentang ini, atau kalaupun ada pasti berbeda jauh dengan kenyataan. Pengalaman saya membuktikan itu. Ketiga, proses pendidikan yang tidak berjalan dengan baik ini dominan terjadi di wilayah orang asli Papua yang tentu saja berdampak jangka panjang dan mempengaruhi semua segi kehidupan. Logikanya begini, jika pendidikan dasar saja sudah tidak dimiliki, bagaimana mungkin SDMnya bisa bersaing dengan para pendatang yang semakin menjamur di Papua. Anda bisa menyaksikan sendiri hal ini ketika berkunjung ke Kota Jayapura. Keempat, Kurikulum nasional yang diterapkan sama sekali tidak mempertimbangkan situasi ini. Kelima, dengan proses pendidikan yang seperti ini, sekolah-sekolah dipaksakan untuk melaksanakan ujian nasional, maka baku tipu terjadi. Bagaimana mungkin ada ujian nasional, kegiatan belajar mengajar saja tidak terlaksana. Siswa juga tahu, meskipun tidak belajar dia pasti lulus karena guru akan membantu. Sebab kalau tidak lulus, sekolah dan pemerintah bertanggung jawab karena memang kegiatan belajar mengajarnya tidak berjalan baik. Situasi ini berkelanjutan hingga ke tingkat yang lebih tinggi sehingga jangan heran meskipun berijasa SMP atau SMA terkadang kemampuan dasar membaca dan menulis juga masih sulit. Kelima, Pengabaian Pemerintah terhadap carut marut pendidikan di Papua adalah salahsatu bentuk penindasan terhadap orang Papua. Mengacu pada buku “Pendidikan Kaum Tertindas”-nya Paulo Freire, dibutuhkan pendidikan bagi orang tertindas untuk menyadarkan betapa pentingnya merebut kembali hak-hak mereka yang telah dirampas oleh kaum penindas; mungkin penting untuk direfleksikan , jangan-jangan memang penguasa sengaja mengabaikan itu karena memang penguasa tidak punya kepentingan untuk membebaskan orang Papua melalui Pendidikan.
Selamat Hari Pendidikan Nasional, Kamis 02 Mei 2013...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H