Mohon tunggu...
asri bintoro asri bintoro
asri bintoro asri bintoro Mohon Tunggu... -

saya lahir di grabag kutoarjo purworejo

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

PRURALISME & MULTIKULTURALISME

17 Mei 2012   13:23 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:10 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

AGGRA INSTITUTE


TAMAN BELAJAR PLURALISME DAN MULTIKULTURALISMEAnggayuh Gapuraning Nugraha Gung( MENGGAPAI GERBANG KEBERKAHAN TUHAN ) Komplek Mekatani No 15 Rt. 004/04, Cempaka Baru, Jakarta 10650asribintoro7@gmail.com

PENDAHULUAN


Pluralisme dan multikulturalisme ialah suatu pikiran yang membiarkan,  yang tak menolak,  menerima, bahkan tak berkeberatan jika keadaan keberadaan bangsa kita terdiri dari macam-macam suku bangsa atau bangsa-bangsa, hidup bersama sama dalam satu lingkungan negara kesatuan dengan tetap memelihara budaya, kepercayaan,  keyakinan,  tradisi kebiasaan dan keyakinan politik masing masing. Keadaan plural dan multilultural ini dalam bahasa kunonya disebut bhineka (aneka ragam ) , tetapi diupayakan agar tetap tunggal ika (menjadi satu).

" Bhineka Tunggal Ika" menjadi seloka yang indah,  juga dijadikan pedoman bagi kehidupan budaya yang pluralistis dan multikulturalistis.

Menurut sejarahnya seloka tersebut diambil dari kitab SUTASOMA karya pujangga keraton Majapahit yang berjuluk Empu TANTULAR . Seloka tersebut terselip dalam kalimat yang terkenal "Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrowa". Seloka ini menjadi begitu berharga karena terpaterikan sebagai pasal dari UUD 45 R.I. yaitu pasal 36 A yang berbunyi Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Pasal 36 C Ketentuan lebih lanjut mengenai Bendera, Bahasa dan Lambang Negara,  serta Lagu Kebangsaan diatur dengan undang-undang.

Mengingat adanya kenyataan bahwa kita memimiliki suku-suku,  budaya,  kepercayaan dan keyakinan yang pluralistis dan multikulturalistis,  semua itu yang menyebabkan kita perlu mengerti dan mematuhi hakekat dari tembung "Bhineka Tunggal Ika" .

Sejauh mengenai budaya,  Bhineka Tunggal Ika,  diatur dalam UUD 45 Pasal 32, sebagai berikut:


  • (1) Negara memajukan kebudayan nasional di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai nilai budayanya.
  • (2) Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.  Pasal 36 C menyebutkan Ketentuan lebih lanjut mengenai Bendera,  Bahasa,  dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan diatur dengan undang-undang.


Kewenangan Pemerintah Daerah Sepanjang mengenai budaya diatur dalam:


  • UUD 45 Pasal 18 ayat (5) : Pemerintah Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya,  kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang undang ditentukan sebagai urusan Pemerinah Pusat.
  • UUD 45 Pasal 18 ayat (6) : Pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
  • UUD 45 Pasal 18 A (ayat 1) Hubungan wewenang antara pemerintahan Pusat dan pemerintah daerah provinsi , kabupaten dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota diatur dengan undang undang dengan mmperhatikan kekhususan dan keragaman daerah .
  • UUD 45 Pasal 18 B (Ayat1 ): Negara mengakui dan menghormati satuan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau yang bersifat istimewa yang diatur dengan undang undang .
  • UUD 45 Pasal 18 B (Ayat 2) : Negara mengakui dan menghormati kesatuan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang undang .

TELAAH


BUDAYA KEKUNOAN , PLURALISME DAN MULTIKULTURALISME , WARISAN WARISAN LELUHUR , KEARIFAN KEARIFAN LOKAL DAN BUDAYA KEKINIAN ,WESTERNISASI, MORDERNISASI YANG SERBA RASIONAL.

Kita kaum tua-tua atau kaum kolot,  sepuh (bahasa Sunda) tak apa-apa selalu tak kebagian peran dalam pembangunan (negara). Diberi peran pun juga bingung sebab kaum kekunoan umumnya punya jalur dan ilmu sendiri yang berbeda dengan kaum kekinian. Tujuan kaum kekunoan jelas,  menuju hidup tata tentrem kerta raharjo,  orang Sunda menyebut tata tentrem kerta raharja,  gemah ripah loh jinawi rea ketan rea keton, buncit leuit, lobaduit sedangkan tujuan tujuan kaum kekinian sulit diikuti sebab tujuannya agak nggladrah dan selalu ngambra ambra yang sulit dimengerti dan diikuti.

Yang disebut kekinian adalah segala cabang kehidupan yang berlaku dan diberlakukan dan berhubungan dengan masalah yang disebut rasional, liberalisasi, demokrasi, westernissasi, modernisasi, materialisme, pragmatisme. Golongan tua golongan sepuh atau dalam bahasa Sunda disebut kolot keukeuh pageuh dalam kepercayaan pada yang disebut ke adi luhungan nenek moyang, idealisme nenek moyang baik itu yang disebut Sundaisme, Javanisme atau Hanacarakanisme. Pemikiran golongan tua pelakunya adalah orang tua, orang yang dituakan (kokolot ), yang katanya atau mengaku mampu melihat jauh kedepan dan mempunyai pemikiran yang jauh diatas pemikiran kekinian karena pemikiran orang tua didasarkan oleh kemampuan berolah rasa (spritualisme, irrasionalisme , mistik yang penuh misteri ) yang digali dari bumi sendiri .

Lalu ada pebedaan lagi antara yang tua dan yang muda yaitu tujuan hidup orang dulu mengutamakan tata tentrem, kerta raharja lahir batin, adil, makmur, sejahtera dalam kebersamaan. Mungkin tujuan kaum kekinian juga tak jauh berbeda yaitu mau hidup makmur.  Perbedaannya yaitu tak perlu ada gotong royong, tak perlu memikirkan orang lain yang berarti tak perlu kebersamaan. Jangan ngurusi orang lain sebelum urusan sendiri beres. Jangan urusan dengan orang lain. Yang penting urusan sendiri.

Namun perlu kita jelaskan sebelumnya bahwa yang disebut golongan tua atau kolot tak selalu terdiri dari kaum tua yang renta.  Golongan tua yang belum tentu orang tua ini,  dalam hati, dan dalam keterbatasannya selalu mengamati tingkah polah golongan kekinian yang tak seluruhnya berbeda dengan golongan kekunoan, bahkan bisa jadi sama yaitu berusaha, dan bercita cita untuk menghadirkan adil makmur bagi seluruh rakyat tetapi seperti diketahui dan dirasakan tak kunjung sampai.

Bahkan gambaran dari cita cita golongan kekinian yang disebut adil makmur juga tak jelas, apa adil makmur dalam kebersamaan seperti cita citanya orang golongan kuno ? Apa semuaorang harus kaya, seperti Liem Swi Liong atau paling tidak semua mempunyai penghasilan rata rata $2.000,  sebulan,  mempunyai rumah yang lengkap dengan kicthen set, dengan perabotan yang baik, punya mobil,  sekolah yang berkualitas, kesehatan terjamin dll.

Tentu golongan ini tak sudi ikut ikutan mempunyai cita-cita seperti cita-cita orang kuno, yang hanya memikirkan tata tentrem kerta raharjo. Bahasanya saja sudah tak menarik.  Menurut nalarnya karena mereka orang modern, yang liberal tampak akan selalu dalam barisan liberalisme, individualisme, liberal yang mestinya berseberangan dengan asas kebersamaan.

Seperti sudah dikatakan golongan tua atau yang penulis sebut golongan kekunoan, tidak selalu harus terdiri dari orang tua tetapi juga ,terdiri barisan intelektualisten yang berada di fakultas-fakultas budaya universitas mana saja,  pecinta ilmu tua ajaran nenek moyang, yang ternyata juga terdiri dari golongan-golongan yang masih muda belia.  Sebut saja Prof.Dr.Ayip Rosidi, Prof. Dr. Rus Rusyana, Prof. Dr. Dadang Kurnia, Prof. Dr. Edi S Sukadjati, Dr.  Suparlan Supajar di UGM dan masih ada sederet yang lain , beliau-beliau tergolong masih sangat muda . Jika mereka kemudian menjadi tua-tua , itu disebabkan umurnya yang tambah, sedangkan pikirannya tidak . Apa penulis mau mengangkat perbedaan-perbedaan atau membandingkan kedua golongan itu ? Itu tak mungkin karena golongan tua tak pernah mempunyai kesempatan untuk mengaplikasikan ilmunya, bahkan mungkin tak siap jika misalnya ada kesempatan untuk itu.  Betulkah pikiran orang tua telah jauh tertinggal dan ketinggalan ?

Sulit dimengerti.  Sesuatu yang lama tak dipergunakan semakin lama semakin menjadi usang. Sungguhpun demikian keistimewannya tetap tersimpan dalam pikiran pikiran orang yang sengaja atau terlanjur mendalaminya. Yang lelas yang kuno-kuno sengaja atau tidak, dipinggirkan untuk memberi jalan lajunya pembangunan orang kekinian. Golongan kekinian berjalan sendiri dan dengan demikian pesatnya.

Namun dimana-mana chaos masyarakat terjadi, berbagai macam chaos yang terjadi dari bermacam macam sebab. Chaos karena orang yang akan dimakmurkan bukan menjadi makmur malah jadi korban kemajuan dan pembangunan, dan yang didapat hanya keadaan babak belur. Atau itukah yang disebut pembangunan atau kemajuan ?

Kemajuan yang seperti terjadi sekarangkah yang kita cari ? Di Jawa barat yang dulu adem ayem, tata tentrem kerta raharja dengan seni seninya yang begitu lembut menyentuh hati, kini suasana yang demkian sudah sulit dicari . Bahkan senimannya, rumah senimannya, alat peraganya tinggal sedikit tersisa dimuseum, semua telah berubah menjadi modern.  Ketika semua kemajuan diukur dengan keberhasilan dalam mengumpulkan uang baik itu perorangan maupun instansi sementara ini tampaknya uang dijadikan segala galanya. Mungkin tak aneh jika yang berhasil pun tak akan berbagi dengan yang lain di mana dalam reformasi dan liberalisasi tak ada kebersamaan, masing masing harus bersaing dalam mengurus kepentingan sendiri. Yang kuat, yang pinter menang. "Asu gede menang kerahe" yang bodoh dan lemah terabaikan. Tak usah di urai tentang fenomena-fenomena yang terjadi saat ini sebagai hasil kerja dengan pedoman-pedoman sesuai dengan kaum kekinian,  karena semua sudah kita alami sendiri dalam keseharian kita. Semua tampak sebagai kesementaraan saja, tak ada yang stabil, yang proposional. Menurut golongan kekinian tujuannya sebenarnya mencari jalan yang praktis dan pragmatis agar semua orang cepat menjadi kaya dan makmur,  namun kenyataannya tak bisa berjalan sebagaimana mestinya. Yang mnjadi kaya raya ada, tetapi yang teringgal tak kurang dan malah merupakan bagian terbanyak.

Memang bisa saja segala sesuatu yang tidak proposinal didiamkan saja, diapungkan, lama-lama juga dapat dirasakan sebagai proposional yang tidak mengganggu, namun jika dibiarkan terus, maka sebagai halnya penyakit makin lama makin akan memperparah keadaan. Lalu membikin susah atau malah tak bisa diobati lagi dan mati. Yang mengherankan ialah mengapa timbul golongan tua. Golongan tua ini terdiri dari orang orang yang mencintai budaya lokal yang plural dan multikulturalisme yang percaya bahwa adil makmur sejahtera hanya dapat tercipta dengan konsep konsep leluhur kita yang sudah mumpuni.

Namun semua itu berbeda dengan ilmu modern yang telah mempunyai konsep konsep sampai sedetail detailnya, ilmu kuno belum mempunyai hal yang demikian. Sebagai permulaan barulah Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila (P4) dapat kita sebut konsep konsep yang sudah memadai, sesuai dengan sistimatika modern. Ilmu kuno tersimpan lama tak mempunyai tambahan kemajuan misalnya sistimatika dan lain-lain. Pengembangan ilmu tua ini berhenti sementara sesuai dengan kebijaksanan penguasa. Itulah sayangnya bahwa konsep konsep leluhur ini tak dapat sejalan atau betentangan dengan ilmu modernisasi, yaitu ilmu barat (westernisasi ) yang kini berkembang dan berkuasa di bumi ini. Padahal keduanya menuju masyrakat yang kaya dan makmur. Perbedaan itu memang sudah dimulai dari permulaan sejarah bangsa Indonesia. Bung Karno, sekalipun beliau diselimuti oleh ilmu westernisasi sudah sejak dulu berharap keluar dari siklus westernisasi, dan dengan kemampuan yang ada beliau menggunakan kesempatan berusaha untuk menggali nilai nilai luhur bangsa sendiri, kembali ke kepribadian sendiri. Tampak diluar tak ada kesesuaian paham antara Pak Karno dan Pak Harto namung sesungguhnya kedua beliau adalah satu guru satu ilmu,  seje godonge , nek digeget pada pahite. Kedua beliau adalah pewaris nilai niai luhur nenek moyang,  sehingga sekalipun modern masih dalam barisan kekunoan.  Hanya mengingat Pak Harto memang tak mempunyai latar pendidikan yang modern, maka penggalian penggalian ilmu kunonya lebih terarah dan mantab.

Perselisihan yang terjadi betapapun sengitnya hanya hanya karena pada masalah siapa yang harus memimpin.Pak Harto meletakkan dasar dasar untuk menjadikan yang kuno dapat dibuka dengan sistimatika modern. Pak Harto berusaha mendekatkan ilmu yang kuno-kuno untuk diserap menjadi dasar-dasar kepimpinan modern kita.

BP 7 adalah upaya yang mulia dan itu ujud nyata dari upaya menjunjung tinggi ajaran leluhur. Bagaiman hasil penataran P4 dahulu , pelajaran PMP yang diselenggarakan orde baru. Meskipun telah menghabiskan dana yang begitu besar tampaknya yang kuno-kuno yang diwakili oleh lembaga BP 7 musnah tak meninggalkan jejak,  yang disebabkan oleh yaitu yang pertama akumulasi kekeliruan diluar ajaran P4 itu sendiri. Kurang waspadanya terhadap trik trik yang dimainkan oleh golongan modernisasi untuk menjegal lajunya pertumbuhan ilmu kuno yang dipermodernisasi.  Dahulu banyak diangkat orang terpercaya untuk mendampingi Pak Harto yang disumpah dan mngucapkan janji setia setiap saat. Tetapi pada akhirnya bahkan orang yang dulu membangga-banggakan diri dan dibanggakan sebagai manggala manggala yang ahli dalam ilmu pengendalian diri yang dimaksudkan sebagai fondasinya pilar-pilar ajaran, ternyata hanya krupuk-krupuk yang tak berharga yang sedikitpun tak mengerti apa yang diomongkan. Mereka ternyata hanya musang berbulu ayam, yang menjadi musuh dalam selimutnya orde baru.

Terlalu jelekkah ajaran ajaran dalam P4 sehingga diburak orang ? Negara kita terlalu besar, penduduknya banyak sekali. Untuk memilih orang orang yang benar kadang kadang sulit. Direkrut sekenanya,  seperti yang kejadian itulah akibatnya. Banyak orang yang seperti kemlandeyan atau sengaja menjadi kemlandean untuk akhirnya ngajak sempal. Setelah pohon besar itu tumbang, monyet-monyetberhamburan meninggalkannya (Dikutip dari peribahasa Cina ).

Asri Bintoro

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun