Media sosial/medsos adalah kekuatan baru dalam pengaruh dunia perpolitikan. Berbagai peristiwa berbasis politik bertemakan kontemporer rasanya hampir diseluruh sudut dunia melibatkan adanya peran penting media sosial yang dahsyat.
Berkat penemuan internet, seketika itu timbulaah istilah "desa global" yang dicetuskan oleh teoretikus  Marrshall Mcluhan, yang mana sekat-sekat ruang dan waktu dalam pertukaran informasi diseluruh dunia dapat dipangkas, seakan dunia yang kita ketahui menjadi dunia yang datar (flat world).
Kita tidak bisa membayangkan fenomena dan peristiwa apa yang akan terjadi nantinya yang dipakai untuk agenda pesan-pesan politik. Sukar untuk diperkirakan, karena alat dan aplikasi media sosial tersedia untuk siapa saja dan semua orang baik di komputer maupun smartphone, siapa saja sangat bisa menjadi pelaku dibalik semuanya.
Perang politik masa depan tidak akan lagi membutuhkan banyak omongan, melainkan tindakan. Berbagai bentuk kreasi isu dn narasi politik daapat dilakukan melalui mesin dalam genggaman. Perangkat tersebut bahkan bisa diatur sebagai mesin propaganda sukses mengerikan yang bekerja secara instant dan hanya sedikit waktu yang diperlukan.
Kemampuan media sosial dapat menjadikan orang biasa memiliki kekuatan untuk mengubah arah medan perang fisik menjadi narasi wacana kebencian yang dibungkus berbagai hal yang lagi hangat diperbincangkan. Oleh karena, peperangan media sosial lebih mudah untuk diadakan, hanya bermodalkan kebencian dan keterampilan teknis menggunakan media.
Media sosial telah memberkahi setiap orang dengan dua kemampuan: memproduksi konten dan membentuk jaringan. Karena itulah, dewasa ini bermunculan banyak agen politik baru yang memiliki pengaruh signifikan di media. Selain itu, media sosial memberikan peluang untuk mempertemukan mereka yang memiliki kesamaan kepentingan bergabung menjadi kelompok, berubah menjadi suatu gerakan.
Berbagai cara untuk meminimalisir peredaran berita hoax dan propaganda sudah dilakukan, namun mekanisme pasar selalu tumbuh subur selama ada fabrikasi oleh pihak-pihak antipemerintah. Konflik di media masih akan terus berlangsung sengit. Saling hantam fitnah dan ujaran kebencian akan masih selalu menghiasi ruang-ruang diskurusus publik.
Seruan moral juga tidak akan bisa dapat mengeremnya. Seperti fatwa Majelis Ulama Indonesia yang melarang penyebaran barita bohong seolah-olah sampai saat ini tidak banyak dapat mengubah atmosfer media sosial.
Perlu dipahami bahwa penggunaan media sosial yang berorientasi pada konflik adalah hal lumrah, pemerintah dan penegak hukum tidak dapat berbuat banyak.
Boleh jadi edukasi yang disampaikan tanpa bosan akan berperan memberi pengaruh signifikan, merupakan solusi yang dapat dilakukan, tapi efeknya jangka panjang. Namun lebih baik kita berbuat daripada mengutuk keadaan.