Mohon tunggu...
ASRA TILLAH
ASRA TILLAH Mohon Tunggu... Dosen - Saya adalah Koordinator Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah SulSel. dan direktur lembaga riset Profetik Institute

Saya adalah Koordinator Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah SulSel. dan direktur lembaga riset Profetik Institute

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Eca, Asas Kosmologi, dan Alam Semesta

31 Maret 2023   16:46 Diperbarui: 31 Maret 2023   16:51 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kali ini saya hanya ingin menceritakan ulang percakapan dengan anak kedua saya, si Eca, nama lengkapnya Muhammad Faeyza Faruq. Dia sekarang duduk di bangku kelas 4 SD, senang bermain game, mengutak-atik coding game, dan menjahili saudara-saudaranya. Si Eca sedikit banyaknya mahir berbahasa Inggris akibat senang nonton channel Youtube yang berbahasa Inggris. Hal ini membuatnya dapat mengakses video-video dokumenter berbahasa Inggris melalui internet. Salah satu genre video yang dia suka adalah dokumenter sains terutama astronomi.

Setiap menyelesaikan satu video biasanya Eca meminta pandangan saya atau ibunya tentang konten video yang baru saja ditonton. Baru-baru ini tepatnya kemarin sore, Eca bercerita mengenai teori alam semesta yang mengembang (expanding universe), bahwa benda-benda langit jika diamati dari Bumi relatif menjauh. Bahkan kecepatan pengembangan alam semesta tidaklah main-main, berdasarkan penelitian terhadap perubahan frekuensi cahaya benda-benda langit yang diamati dari bumi, kecepatan pengembangan alam semesta mencapai 74,3 Km/S.

Lalu Eca bertanya, secepat apakah 74,3 Km/S itu ? saya lalu memberikan ilustrasi sederhana, bahwa jika kami seringkali melakukan perjalanan dari Kota Makassar ke Kota Pare-pare yang jaraknya sekitar 150 km, maka kami akan menempuhnya dengan mengendarai mobil  sekitar 3 jam. Lalu saya mengajak Eca membayangkan, "bayangkan nak andai kecepatan mobil kita 74,3 Km/S sebagaimana kecepatan mengembangnya alam semesta, maka kita akan tiba di rumah nenek di Kota Parepare hanya 2 detik lebih". Dengan rasa kagum dia lalu berkata "cepatnya yah, itu berarti alam mengembang seperti balon yang ditiup dengan sekuat tenaga". "Iya", jawab saya.

Lalu Eca melanjutkan pertanyaannya, seakan tidak puas dengan jawaban yang saya berikan. "lalu siapa yang meniup balon alam ? siapa yang punya "nafas" luar biasa yang bisa mengembangkan alam semesta dengan begitu cepat ?", tanya Eca. Saya pun tiba-tiba menjadi bingung, sebenarnya saya bisa saja menjawabnya dengan mengatakan "Tuhan yang meniupnya", tapi bagi saya jawaban yang terlalu terburu-buru dinisbahkan ke Tuhan akan menutup sesi diskusi, dan membuat nalar malas berpikir lebih lanjut.

Namun saya mencoba melanjutkan diskusi. "kita belum tahu persis apa yang terjadi di alam semesta ini nak, yang kita punya hanyalah sekumpulan hasi pengamatan, dan kita butuh metafora untuk menjaskannya, dan kita menggunakan metafora 'balon'...", ucap saya. "apa itu metafora pak ?", tanya Eca. "metafora itu perumpaan nak, kita gunakan benda yang kita kenal untuk menjelaskan sesuatu yang belum begitu kita kenal, balon kita telah kenal tapi alam semesta belum kita kenal semua bagiannya, karena alam semesta mengembang dan balon juga mengembang jika ditiup, maka alam semesta kita umpamakan seperti balon, walaupun mengembangnya alam semesta belum tentu sama dengan proses mengembangnya balon", jawab saya dengan pelan-pelan.

Percakapan saya dengan Eca mengingatkan saya dengan sebuah asas yang diperkenalkan oleh Edward Milne dalam World Structure and The Expansion of Universe (1933), asas tersebut berasumsi bahwa alam semesta dalam skala besar secara spasial bersifat serbasama (homogen) dan isotropik. Serbasama berarti semua posisi tidak berbeda dan semua objek berevolusi menurut hukum-hukum yangsama; sedangkan isotropik berarti ke arah manapun kita memandang alam semesta akan tampak serupa. Ini berarti alam semesta dalam skala besar tidak berbeda di manapun dalam ruang, kecuali pada tampilan-tampilan berkelompok yang bersifat lokal (galaksi, bintang, planet). Asas ini oleh Milne dinamai Einstein's cosmological principle atau disingkat asas kosmologis.

Kenapa kita menggunakan metafora balon dalam menggambarkan ekspansi alam semesta ? karena ruang dalam sebuah balon diasumsikan diisi oleh massa udara yang seragam, dan mengembang ke segala arah dengan kecepatan yang relatif seragam. Senantiasa ada asumsi yang terlibat dalam setiap upaya mengkonstruk teori sains, sebagaimana dalam karya sastra akhirnya metafora menjadi tempat berpulang untuk menjelaskan perihal yang belum begitu jelas.

Seturut perkembangan sains, ada semacam keinsyafan yang tumbuh pelan-pelan, seiring dengan kecongkakan yang juga perlahan menampakkan diri. Keinsyafan yang saya maksud di sini adalah, sadarnya manusia bahwa pengamatannya begitupula pengetahuannya dibatasi oleh perspektifnya, dibatasi oleh tubuhnya. Alam semesta nampak sebagaimana saat ini karena mengambil perspektif kita sebagai pengamat dari bumi. Pengalaman kita terhadap alam semesta , tidak terlepas dari pengalaman kebertubuhan kita. Ada semacam keinsyafan bahwa kita tidak bisa mengambil posisi "mata Tuhan", yang seakan-akan dapat memandang dan menjelaskan segala sesuatu dari kejauhan. Bermula dari Kant (1724-1804), kita bisa sadar bahwa pengetahuan akan alam semesta tidaklah objektif sepenuhnya, rasio kita menyaring dan menyusun ulang hasil pengamatannya dengan kategori-kategori yang built-ini pada dirinya, yang objektif dan yang subjektif saling beririsan dan bekerjasama menyusun pengetahuan, demarkasi ketat antara idealisme dan realisme menjadi kabur.

Saat berdiskusi dengan Eca, dia tiba-tiba mengajukan pertanyaan yang juga menggambarkan keinsyafan itu. " tapi kenapa benda-benda langit, menjauh dengan kecepatan yang sama pak ? dari kita ?", tanya Eca. "itu karena kita mengamati dari bumi nak", jawab saya. "owww.....bagaimana yah kalau kita memandang dari bulan ?, bagaimana kalau kita memandang dari Mars ?, bagaimana kalau kita memandang dari planet di luar tata surya kita ? bagaimana jadinya kalau kita mengamati dari salah satu planet di galaksi Andromeda ?" tanya Eca. Saya hanya menjawab "mungkin alam semesta akan nampak lain".

Namun keinsyafan yang perlihatkan oleh Kant ataupun Eca, terkadang membuat manusia sedikit gentar. Keinsyafan dalam ilmu pengetahuan sama saja pengakuan akan ketiba-tiba-an, galat pengukuran yang kapan saja bisa menghampiri, atau kompleksitas yang tak ternamai. Bondi dalam cosmology (1960) menyebutkan sebuah asas yang juga mengambarkan keinsyafan sekaligus rasa gentar tersebut, yang dia sebut dengan asas copernicus. Asas tersebut menyebutkan bahwa Bumi tidak berada pada posisi khusus, sehingga posisi Bumi dapat mewakili semua posisi yang ada dalam alam semesta. Harrison (1960) menyebut asas ini sebagai asas lokasi, bahwa lokasi manusia tidaklah spesial, dalam pengertian ketiadaan kondisi yang membuat lokasi itu terbedakan dari lokasi lain.

Dalam asas copernicus, Bondi Insyaf bahwa lokasi bumi tidaklah spesial, namun tetap berupaya mengatasi kegentaran menghadapi kompleksitas alam semesta dengan mengatakan "posisi Bumi dapat mewakili semua posisi dalam semesta". Apakah kita dengan segala kekayaan pengetahuan akan alam semesta yang sudah ada, bisa menggaransi bahwa posisi bumi betul-betul dapat mewakili segala posisi dalam alam semesta ?, saya pikir tidak. Namun pengandaian tersebut kita butuhkan agar kita merasa tetap bisa memahami alam semesta.

Dalam keseharian saat berinteraksi dengan sesama, kita juga seringkali melakukan hal yang sama, kita mengandaikan bahwa segala kemungkinan proses fisik-mental semua orang yang telah-sementara-akan kita temui dapat diwakili oleh proses fisik-mental diri kita. Pengandaian-pengandaian seperti ini menjadi semacam prinsip keekonomisan pengetahuan, sesuatu yang membuat kita mudah dan tak begitu sukar untuk mengetahui/memahami segala sesuatu di luar kita. Tapi sejarah mengajarkan kita bahwa pengandaian semacam itu bukanlah tanpa resiko, keunikan individu atau kelompok tertentu seringkali diabaikan dan berujung diskriminasi.

Di penghujung diskusi, Eca bertanya "apakah sudah ditemukan makhlukh mirip manusia di benda-benda langit selain bumi pak ?". "sampai sejauh ini belum nak, dan sampai saat ini para astronom terus mencari", jawab saya. "kalau begitu kita sendirian di alam semesta yang luasnya luar biasa, kita tidak bisa kemana-mana pak, hanya di bumi kita bisa hidup, lalu kenapa banyak orang yang merusak lingkungan sedangkan belum ada tempat tinggal lain untuk manusia selain bumi ?" tanya Eca lebih lanjut. "yah mungkin karena mereka bodoh dan congkak", tutup saya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun