Sudah sekitar tiga hari terakhir ini, momen minum teh pagi saya diselingi sedang kegiatan membaca karya Mas Goenawan Muhamad yang dijuduli "Pada Masa Intoleransi" (2017), buku ini adalah sekumpulan esai dari Mas Goen yang banyak bicara soal buku, sastra dan kesunyian.
Salah satu ungkapan yang cukup mengganggu saya dari buku tersebut (dan ini dikutip berulang-ulang oleh Mas Goen dalam beberapa esainya) adalah ungkapan yang diucapkan oleh Sudarto Bachtiar dalam sebuah sajaknya, Â bahwa terkadang " Karena kata tak cukup buat berkata" .
Apa yang dimaksud oleh ungkapan tersebut ?, walaupun maksud eksplisitnya tak diuraikan Mas Goen dalam bukunya, namun saya secara samar-samar punya interpretasi sendiri atas ungkapan "Karena kata tak cukup untuk berkata".
Pertama, ungkapan itu barangkali ingin menyampaikan bahwa, banyaknya kata-kata, berlimpahnya istilah dalam dunia politik kita, membanjirnya kata-kata yang merayu dalam iklan-iklan di TV maupun internet, begitu cerewetnya kita dalam memproduksi kata saat berbincang dengan sesama, tak secara otomatis membuat kita semakin kenal dan paham akan diri kita, akan peristiwa-peristiwa, akan sesama dan dunia kita.
Kemudian saya mencoba untuk mempertautkan tafsir saya akan maksud ungkapan tersebut dengan horizon pengalaman keseharian saya. Tetiba saja saya teringat, betapa seringnya saya terlibat dengan sebuah percakapan (dengan teman-teman politisi) yang membicarakan pentingnya keadilan dalam kehidupan benegara, bahkan mengulang-ulang kata keadilan, padahal saya tahu dan mungkin saja yang terlibat dalam percakapan itu mengetahui bahwa betapa pengecutnya kami dalam menegakkan keadilan di tengah hutan rimba politik yang semakin mengganas. Betapa musykilnya menunjukkan rupa keadilan kepada rakyat kecil, Â dalam rimba kepentingan picik di negeri ini.
Seringkali pula saya terlibat perbincangan dengan sekumpulan civitas akademik tentang pentingnya menegakkan dan mendahulukan etos keterpelajaran di dunia kampus di atas kepentingan administrasi dan keuangan. Tetapi kami sadar, bahwa kami-kami yang terlibat di percakapan tersebut adalah orang-orang yang berburu upah ketimbang pengabdian akademik. Kami sebenarnya tak sepenuhnya sungguh-sugguh menjadi seorang yang terpelajar, tapi hanya sibuk agar nampak terpelajar.
Kata senantiasa tak cukup untuk berkata, sebab adanya semacam deviasi antara yang kita ucapkan dengan yang kita maksudkan dan lakukan. Makanya tak sedikit di antara kita jika memergoki tokoh publik tertentu yang kedapatan mengalami inkonsistensi antara yang diucapkan dengan yang direncanakan dan dilakukan, maka kita paling akan berkata "tak habis pikir saya, saya tak bisa berkata-kata apa lagi".
Beberapa hari lalu di media kita disuguhi berita, tatkala seorang mahasiswa kejang-kejang setelah di"smack down" oleh seorang aparat polisi. Lalu aparat bersangkutan melayangkan "kata maaf dan penyesalan". Semoga kata maaf aparat tersebut memang berbanding lurus dengan maksud lembaga kepolisian agar lebih humanis dalam merespon protes masyarakat sipil, tak sekedar "gimmick" dan pertunjukan teater belaka.
Kedua, bisa saja yang dimaksudkan dengan ungkapan "karena kata tak cukup buat berkata", adalah kenaifan setiap upaya yang mencoba untuk mematok atau memastikan makna. Kini kita berada dalam situasi yang dijepit oleh dua "otoritas pengertian kata". Di sebelah kanan kita dihimpit oleh ideologi politik baik yang religius maupun tidak, dimana ada upaya untuk memastikan secara sepihak apa pengertian dari kata "beriman", "kufur", "pancasilais", "antek PKI", "kaum teroris" dan sebagainya.
Sehingga yang terjadi, kita tidak lagi bertanya "apa arti iman bagi saya ?", "apa arti pancasila bagi saya ?", "apa arti kebhinnekaan bagi saya ?. Yang kita lakukan justru mencari semacam rumusan mutlak pengertian/definisi akan "pancasila", "iman", dan "kebhinnekaan". Agar kita bisa membedakan secara tegas antara yang "beriman" dengan "kufur", antara "pancasilais" dengan "anti pancasila", antara yang "pro kebhinnekaan" dan yang anti terhadapnya, antara "kami" dengan "mereka". Kita lebih terobesesi akan "pengertian-pengertian/definisi-definisi" yang tegas, ketimbang "arti".
Lalu dari sebelah kiri kita dihimpit oleh tradisi akademik yang bermuka dua. Berupaya menentukan pengertian absolut kata "kemiskinan", tanpa mau berempati kepada yang miskin. Mengulang-ulang pengertian kerusakan ekologi, tanpa mau berkomitmen untuk hidup dengan cara yang tak konsumtif (yang membuatnya boros secara keuangan dan keluaran energi). Berceramah tentang demokrasi di forum-forum akademis, tapi di satu sisi justru menjadi bagian dari politik pemburu rente. Melakukan pengukuran terhadap ketimpangan ekonomi dengan teori-teori ekonomi yang ada, tapi ikut menjadi penyokong oligarki.