Malam semakin larut. Dan, aku masih saja dalam beban pikiran yang tak jua hilang. Beban tentang keberadaanku dalam masyarakat ini. Beban tentang hidup yang kujalani selama ini. Rutinitas keseharian seperti pekerjaan yang memestikan aku untuk tidak boleh absen. Aku semakin sibuk dan resah terhadap berbagai urusan bisnis, konsumsi, jasa, deadline. Semua itu, tuntutan masyarakatku saat ini. Masyarakat yang menjanjikan kemajuan dengan berbagai kemudahan fasilitas, dan aku menemukan keseharianku berupaya untuk memburu kemudahan itu. Aku meleburkan diri di dalamnya. Tapi, semua itu, seakan telah merenggut sesuatu dalam diriku. Aku merasakan ada yang semakin jauh.
Saat ini, aku merasakan telah melupakan sesuatu karena kesibukan itu. Keseharian dengan berupaya pemenuhan aksesoris hidup. Aku merasa tidak memiliki kepercayaan jika tidak memiliki aksesoris hidup seperti kosmetik, pakaian yang terbaru, rumah yang mewah, kendaraan yang baru, pekerjaan dengan gajih yang melimpah. Aku kini seperti manusia pengembara yang haus akan produk-produk dan layanan baru.
Saat ini, aku merasakan tidak memiliki waktu untuk diriku. Waktuku kini terserap oleh hal-hal diluar diriku. Aku bahkan, tidak memiliki lagi kepeduliaan. Aku menjadi manusia yang individualis. Aku tidak peduli lagi peristiwa-peristiwa yang terjadi karena aku sudah menganggapnya tidak penting. Pada hal, mungkin saja dalam peristiwa itu ada isyarat-isyarat Tuhan untuk diriku. Bagaimana aku bisa memaknai peristiwa itu, bahwa itu, adalah isyarat Tuhan, sedangkan lain sisi, Tuhan sendiri telah aku “bunuh” dengan keseharianku?
Kondisi demikian, aku mungkin baiknya memilih agama untuk mengembalikan diri yang terenggut oleh masyarakatku. Mengembalikan perasaan yang semakin jauh. Mengembalikan perasaan kehilangan akan diri dan beralih pada keheningan. Tapi, apakah agama memiliki ruang-ruang keheningan itu? Sepertinya aku ragu. Jika melihat diriku yang menyatakan diri beragama. Sebab, di sana aku temukan kebengisan, kegoaan jadi lakonku atas nama agama. Kebenaran seakan hanya milik aku. Aku membunuh dengan mengatas namakan agama.
Di sana, aku juga tetap pada karakter individualis enggan berbagi terhadap sesama seperti yang aku dalam masyarkat modern. Atau jangan-jangan agama adalah modern itu sendiri yang sebenarnya bukanlah dua entitas yang berbeda? Ataukah agama itu sendiri telah terbungkus dengan arus modern sehingga hakikatnya juga tak tampak lagi dan susah untuk dikenali? Tuhan maha sempurna, Tuhan maha benar, begitulah agama menggambarkan Tuhan, akan tetapi, kini, aku temukan diriku telah mengganti dan mengambil alih ke-maha benaran, ke-maha sempunaan Tuhan. Aku merasa lebih “perkasa” dari pada Tuhan
Sekali lagi, kini aku berada dalam masyarakat ini. Masyarakat yang di bentuk berawal dari abad pertengahan. Aku terserap di dalamnya. Aku manusia modern seperti dalam pandangan Tri Wibowo B.S, dalam bukunya Gunung Makrifat; “sudah terserap dalam arus keseharian. Arus rutin ini membawa banyak sampah yang mendangkalkan hidup, seperti sungai-sungai di kota besar yang semakin dangkal karena sampah dan lumpur bertumpuk-tumpuk”. Aku kini telah terjerat dalam sebuah arus yang menggiringku untuk melupakan akan keberadaaku. Mungkin, kini aku telah berada pada Amnesia ontologis dalam istilah Hedeigger.
Oleh karena itu, sudah semestinya, aku mendengar anjuran Hedeigger bahwa; aku harus mulai meng-ada yang menanyakan ada. Soal tanya itu, agar aku tidak kehilangan akan asalku serta tujuan hidup yang hakiki. Bukankah hanya manusia yang bisa menanyakan akan ada-nya dan ada yang lain? Tapi apa yang terjadi pada diriku, aku melupakan semuanya. Aku menyamakan diriku dengan ada yang lain, yang ontis (benda-benda). Bahkan ironisnya, aku sudah terkontrol oleh yang ontik (benda-benda) tersebut. Aku merasa sangat takut kehilangan semua itu. Aku manusia yang seperti dikatakan Tri Wibowo B.S, “selalu digiring untuk mendewakan kesenangan hidup”.
Takut kehilangan benda-benda itu, tanpa kusadari telah menghantarku pada kehilangan yang lebih penting. Aku kehilangan identitas. Identitas yang sesungguhnya yang merupakan anugerah Ilahi. Anugerah dalam bentuk atribut-atribut-NYA yang dititipkan kepadaku. Aku menutupi semua itu dengan hasrat-hasrat duniawi. Aku sebenarnya berada pada keramaian namun sepi. Aku tidak pernah merasakan keheningan dan tak memperdulikan kata-kata Hedeigger perihal ini bahwa, “keheningan memiliki daya unik dan asli, yang hakiki. Keheningan tidak mengisolasi kita dari keberadaan diri kita, tetapi mendekatkan eksistensi kita dengan hakikat segala sesuatu. Kita menjadi dekat dengan diri kita”.
Mudah-mudahan aku akan beranjak menuju penghayatan yang mendalam. Memberi sedikit pada jiwa ruang keheningan agar aku tak lagi mendewakan kesenangan hidup. Agar aku tak lagi berada pada rutinitas keseharian yang menghantarku pada lupa dan menjadikanku sepi. Agar aku tak lagi menjadi individualis. Agar aku tak lagi mengabaikan peristiwa-peristiwa kecil yang mungkin saja di sana ada isyarat Tuhan. Agar aku tak lagi mengambil ke-maha-nya Tuhan untuk membunuh, menghakimi, menyesatkan orang lain atas nama agama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H