Kejutan! Akhirnya tiga pasangan bakal tarung merebut kursi DKI 1: Ahok-Djarot, Anies-Sandiago dan Agus-Sylviana. Jagat politik langsung gonjang-ganjing. Kejutan pertama, lah kok bisa PDIP malah mengusung Ahok yang bukan kader parpol? Apa tidak ada dari sekian ratus kader yang mumpuni? Kenapa bukan Risma misalnya, yang notebene kader PDIP dan sudah cukup lama diisukan akan diboyong ke ibukota?
Orang internal PDIP sendiri pasti geleng-geleng kepala (walaupun ketika keputusan itu diambil, pasti cuma bisa manthuk-manthuk). Sampai-sampai Ketua DPD PDIP DKI Jakarta Boy Sadikin pilih mundur, karena selama ini vokal anti-Ahok.
Sayajadi membayangkan, bagaimana perasaan Bu Risma, ya. Gimana kalo nanti malah diajak jadi jurkam Ahok? Padahal berdua ini sering (terlihat) cekcok di media. Maklum, sama-sama “media darling” (bersin aja mungkin diberitain, kok, nih dua tokoh).
Hmm, mungkin, Bu Mega ingin Bu Risma kelak jadi gubernur Jatim dulu. Nanti, kalo Ahok jadi DKI 1, target 2019 pasti menuju RI 1 gandengan dengan Bu Risma. Nggak perlu kerja keras, kan. Dua “media darling dikawinkan”, mesin parpol tinggal berpangku tangan. Cukup terima kasih pada media.
Kejutan kedua, Anies dicalonkan oleh Gerindra dan PKS. Padahal waktu pilpres dulu, Pak Anies ini termasuk Jokower. Makanya sempet diganjar kursi menteri pendidikan di kabinet nawacita. Lah, kok sekarang digeret gerbongnya Prabowo? Itulah politik demokrasi! Kawan jadi lawan, lawan jadi kawan. Tak ada idealisme sejati, yang ada kepentingan abadi.
Kejutan ketiga yang paling bikin penghuni Nusantara shock adalah pengajuan Agus oleh Partai Demokrat. Semua kecele. Karena, paling tidak, kalo mengikuti syahwat “dinasti”, kan mustinya Ibas yang sudah lebih dulu “basah” di parpol. Lah, Agus? Kariernya di TNI, pastinya belum terciprat debu-debu politik.
Mungkin, biar nanti pada pilpres 2019 juga gak terkesan ujug-ujug, kali. Makanya dimunculkan sekarang. Karena yakin, deh, targetnya bukan DKI 1, tapi RI 1. Jadi, sekarang untuk trialand error, menjaring respons warga DKI dululah. Seberapa penerimaan mereka terhadap pesona anak sulung mantan presiden ini.
Siapa tahu, dengan citranya di TNI yang cemerlang, lama-lama akan menjadi“media darling”. Sekarang saja, Agus sudah dielu-elukan kaum perempuan. Maksudnya, para netizen centil gagal fokus yang –seperti biasa-- lebih tertarik membahas penampilan artifisialnya dibanding ngomongin politik.
BTW, dari tiga fenomena pencalonan kandidat DKI 1 yang terkesan “asal comot” itu, ada satu yang saya garis bawahi: kegagalan parpol dalam kaderisasi. Menurut pakarnya, Miriam Budiardjo, partai politik adalahsuatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama dengan tujuanmemperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya), dengan cara konstitusional guna melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.
Pastinya, untuk melahirkan sosok yang mencapai target “satu visi, satu cita-cita dan satu tujuan” ini, kan butuh proses panjang. Proses pembinaan alias kaderisasi itu. Lah, kalau tiba-tiba asal comot orang di luar parpol, kok rasanya seperti orangtua ngasih warisan ke anak tetangga, sementara anak kandung tidak diberi (tepat nggak sih analogi gini? Hehe...anggap aja ngalor ngidul).
Jadi, parpol itu tugasnya menyiapkan kader yang bisa mengemban ideologi parpol untuk diterapkan jika berkuasa. Kira-kira begitu. Berarti, jika parpol tidak mengajukan kadernya sendiri, berarti parpol telah gagal fokus. Gagal menjalankan fungsi kaderisasi dengan baik. Atau lebih tepatnya, mengabaikan kader-kader terbaiknya demi ambisi kekuasaan.